WpMag

Jumat, 24 Januari 2014

MAINANKU HILANG



MAINANKU HILANG

Kini mainanku hilang. Mainan nan lucu dan menggemaskan. Mainan sebagai penghibur kesendirian. Mainan sebagai penyegar batin yang gundah. Mainan sebagai pengisi waktu luang. Maiananku hilang ditelan zaman. Mainanku hilang ditelan peradaban. Maiananku hilang di makan rakusnya modernisitas. Mainanku hilanng.
Mainanku hilang tergantikan plastik yang terbungkus rapi. Mainanku hilang tergantikan mesin yang berjalan sendiri. Mainanku hilang tergantikan layar dua dimensi. Oh mainanku hilang. Aku tersedu disudut ruangan. Aku menangis mencari maianan. Aku merintih sendiri tak ada teman. Mainanku hilang.
Kekean, kasti,dakon hilang entah kemana. Ia hilang ditelan rakusnya peradaban. Ia hilang seiring waktu yang terus berjalan. Cublek-cublek suweng kini tak terdengar lagi. Entah kemana maiananku pergi. Disudut-sudut kampung, di emperan rumah dulu masih tersisa mainanku. Di waktu sore, di akhir pekan dulu masih ketemui mainanku. Kini mainanku hilang.
Oh, apakah ini yang dinamakan modernisitas. Oh apakah ini yang dinamakan kemajuan. Oh apakah ini yang dinamakan perkembangan. Semua menelan dan menghilangkan yang telah ada. Mencoba membunuhnya perlahan-lahan. Hingga kini telah hilang dan tergantikan yang baru. Bolehkah aku meminta, untuk sekedar memainkan maiananku yang dulu hilang. Bolehkah aku bernyanyi untuk memainkan mainanku dikala sendiri.
Cublek-cublek suweng
Suweng e teng kelender
Mambu ketundung goder
Tak senggo lela-lelo
Sopo gowo delek ake
Sir-sir pong delek kopong
Sir-sir pong delek kopong. 

KAMPUNG KEDUA


KAMPUNG KEDUA

Jika ditanya tempat mana yang nyaman maka aku akan menjawabnya kota ku sendiri. Kemudian, jika ada yang menanyakan tempat mana lagi, aku akan menjawab Yogyakarta. Kenapa Yogyakarta? Jawabannya simpel disinilah aku bertahun-tahun tinggal. Dan jika kampung mana yang nyaman untuk ditinggali. Aku akan menjawab kalituri. Kemudian jika mereka bertanya lagi kampung mana yang nyaman untuk ditinggali aku akan menjawab kampung cepit.
Ya, di kampung Cepit inilah aku suduah dua setengah tahun tinggal. Dikampung inilah aku banyak belajar menganai kehidupan. Dikampung inilah banyak kenangan yang tertinggal. Kampung yang ramah warganya, kampung yang menyajikan kearifan masyarakatnya, kampung yang menggambarkan betapa modernisitas terus menggerus dan ia tetap dalam haluan-haluan yang kondisional.
Disinilah aku bertemu dengan sahabat sesama perantau. Disini pula aku banyak belajar dan berinteraksi dengan masyarakat. Obrolan ringan di angkringan, canda tawa di meja ping pong, seteguk kopi di kamar kost adalah teman dalam setiap hari. Obrolan ringan di angkringan mengantarkanku akan interaksi dan sosialisasi pada masyarakat. Canda tawa di meja pingpong adalah hiburan yang menghiasi hari. Seteguk kopi di kamar kost adalah penyamat hari-hari.
Banyak cerita dan ilmu aku dapatkan dari kampung ini. Fonomena yang terus terjadi dimana Islam puritan berkembang sangat pesat telah membawaku untuk membentengi diri. Salah satunya adalah tinggal di kampung ini. Aku menemukan kampung yang tak jauh beda dengan kampung ku sendiri. Aku menemukan bagaimana menyikapi perbedaan antar sesame disini.
Yang pasti, di kampung ini aku menemukan sahabat dan keluarga baru. Sahabat yang mengisi hari-hariku dan keluarga yang sangat hangat bagiku. Sering dapat makan atau jajan jika ada hajatan atau bahkan jika tetangga mendapatkan rezeki. Rasanya ini seperti di kampung sendiri. Suasana yang tak jauh beda masyarakat dan kehidupannya.
Inilah kampung yang akan selalu aku ingat. Inilah kampung yang mengantarkanku menggapai setiap asa. Kampung Cepit inilah aku akan mengisi hari-hari diakhir studi di Yogyakarta. 

Sabtu, 11 Januari 2014

LAKI-LAKI DAN TEH HANGAT

LAKI-LAKI DAN TEH HANGAT

Pria paruh baya itu masih terdiam ditempatnya. Sambil menundukkan kepala ia nikmati hidangan yang berada di depannya. Sebuah nasi kucing dengan beberapa mendoan dan sate ampela adalah menunya setiap malam. Sementara segelas teh hangat menjadi minuman yang selalu menemaninya. Sudah hampir satu bulan pria tersebut selalu makan diangkringan itu. Entah daya tarik apa, tak ada yang tahu.
Tubuhnya biasa saja tinggi badannya jika ditaksir tak lebih dari seratus tujuh puluh. Umurnya pun belum begitu tua. Terlihat dari raut wajah yang masih segar. Warna kulitnya terlihat kecoklatan karena sinar lampu 5 watt yang menerangi angkirngan di sudut jalan itu.
Angkringan itu setiap harinya ramai di sesaki pembeli. Semenjak matahari telah pulang keperaduannya angkringan tersebut buka. Menjadi tempat dimana bertemunya orang-orang yang kelaparan. Ada satu yang menarik, penjualnya ada seorang perempuan muda dengan rambut sepunggung. Usianya pun mungkin belum sampai 25 tahun. Rambutnya yang hitam, dan dekik pipinya yang terlihat ketika tersenyum menjadi magnet tersendiri. Namun entah mengapa laki-laki itu selalu datang dan makan di angkringannya. Apakah karena kecantikannya. Atau karena masakannya atau mungkin karena hal lain.
***
“Silahkan Mas, mau minum apa?” tanya sang penjual warung dengan ramah
“Teh hangat” dengan nada datar dan menundukkan kepala
Dalam hati perempuan tersebut, kenapa laki-laki ini selalu datang ketika setelah magrib dan selalu memesan teh hangat. Kenapa juga ia selalu makan-makanan yang sama? Beribu tanda tanya menyelimuti berkeliaran ketika laki-laki itu datang.
“ Dari mana Mas?” tanya sang penjual untuk mencairkan suasana
“ Dari sana” sambil menunjukkan arah kedatangannya tadi
Suasana masih dingin. Obrolan pun tak berlanjut sementara beberapa pembelipun berdatangan. Ada yang memesan wedang jahe, susu panas, es teh, dan sebagainya. Perempuan penjual angkringan masih sibuk meracik minuman yang di pesan oleh para pembeli.
“Sudah Mbak” sambil menyodorkan uang
“Iya mas”
Selalu dan selalu uang tersebut pas sesuai yang ia pesan. Entah mengapa,padahal perempuan penjual angkringan tersebut hanya sekali mengatakan berapa habisnya. Namun semenjak itu apa yang ia pesan selalu sama sehingga uang yang diberikan sama setiap harinya.
***
Esok hari, laki-laki itu datang namun tidak seperti biasa. Laki-laki itu datang sudah agak larut malam. Beberapa makan sudah mulai habis. Wajahnya masih tertunduk seperti hari-hari kemarin. Raut mukanya pun tak menunjukkan kegembiraan apapun. Ia ambil tempat duduk seperti biasa. Dibawah temparan sinar lampu kuning ia mengambil mendoan dan mencicipinya.
“Pasti teh hangat” tebak perempuan penjual angkringan
“Iya Mbak”
Langsung seketika perempuan yang ramah itu meracikkan teh hangat untuk laki-laki tersebut. di sodorkanlah teh hangat yang telah selesai dibuat.
“Ini Mas”
“Terimakasih Mbak”
“Kok, gak seperti biasa datangnya agak malem?” tanya perempuan penjual angkringan
“Iya”
Hanya jawaban dingin yang selalu keluar dari mulut laki-laki itu. Dan hanya sepatah dua patah kata yang ia utarakan. Membuat perempuan penjual angkringan tersebut semakin penasaran dengan laki-laki aneh itu. Ingin ia menguntit dibelakngnya ketika ia pulang. Ingin ia mengetahui dimana rumahnya, dan kenapa ia selalu diam. Bukan karena ia memiliki wajah yang lumayan tampan, tapi memang karena ada rasa penasaran yang menyeruak di benak perempuan penjual angkringan tersebut.
***
Sudah beberapa hari laki-laki itu tak menunjukkan batang hidungnya. Entah kenapa perempuan tersebut selalu gelisah ketika laki-laki itu tak datang di angkringannya. Selalu ada rasa kawatir dan kurang nyaman. Ingin rasanya jika laki-laki itu datang kembali akan di tanyai mana rumahnya?. sudah berkeluarga belum?. Apa pekerjaannya?. Beberapa pertanyaan sudah ia siapkan untuk laki-laki itu.  Namun sampai satu minggu belum juga datang diangkrinnya.
***
“ Kenapa Mbak kok gelisah” tanya seorang laki-laki yang menikmati makanan di angkringannya
“Enggak kok”
“Kenapa melihat arah sana?”
“Tidak apa-apa. Oh ya kemana laki-laki yang biasa makan disini yang hanya diam itu?” tanyanya balik sambil menunjukkan tempat duduk yang biasa ditempati
“Oh, Mas Fuad to”
“Aku gak tahu namanya, pokoknya yang biasa makan disini dan selalu memesan teh hangat”
“Dia itu Mas Fuad Mbak, entah sekarang kemana. Semenjak ia di pecat dari pekerjaannya di PT INKO”
“Kenapa di pecat?” tanyanya lagi
“Dia kan tuna netra, dulu kebijakan perusahaan memang membolehkan seorang tuna netra bekerja yang terpenting skillnya. Tapi semenjak pergantian menager, kebijkan tersebut dirubah. Akibatnya Mas Fuad di pecat”
“Oh begitu. Ternyata dia itu buta ya. Kok gak kelihatan kalau dia itu buta” sambil menyodorkan susu panas pada laki-laki yang diajaknya bicara
“Iya, dia itu buta tapi hati dan perasaannya tidak pernah buta. Ia sangat hafal dan pintar. Walaupun dia buta, ia dapat bekerja di depan computer. Mengetik berbagai tugas kerjanya. Ia juga sangat hafal dengan jalan pulang ke kostnya”
Ternyata laki-laki yang selalu datang tengah malam itu adalah laki-laki luar biasa. Laki-laki buta mata, namun tak pernah buta hatinya. Laki-laki yang selalu menundukkan pandangannya. Laki-laki yang makannya sederhana, sesederhana pakaiannya.
Dunia itu memang kejam, dan manusia-manusia itu juga kejam. Tidak memberikan kesempatan pada orang lain yang ingin hidup. Saling tindas menindas, dan yang tak berdaya di sisihkannya. Atas nama kekurangan laki-laki itu harus meninggalkan pekerjaannya. Harus meninggalkan segala rutinitasnya selama ini.