LAKI-LAKI DAN TEH HANGAT
Pria paruh baya itu masih terdiam
ditempatnya. Sambil menundukkan kepala ia nikmati hidangan yang berada di
depannya. Sebuah nasi kucing dengan beberapa mendoan dan sate ampela adalah
menunya setiap malam. Sementara segelas teh hangat menjadi minuman yang selalu
menemaninya. Sudah hampir satu bulan pria tersebut selalu makan diangkringan
itu. Entah daya tarik apa, tak ada yang tahu.
Tubuhnya biasa saja tinggi
badannya jika ditaksir tak lebih dari seratus tujuh puluh. Umurnya pun belum
begitu tua. Terlihat dari raut wajah yang masih segar. Warna kulitnya terlihat
kecoklatan karena sinar lampu 5 watt yang menerangi angkirngan di sudut jalan
itu.
Angkringan itu setiap harinya ramai
di sesaki pembeli. Semenjak matahari telah pulang keperaduannya angkringan
tersebut buka. Menjadi tempat dimana bertemunya orang-orang yang kelaparan. Ada
satu yang menarik, penjualnya ada seorang perempuan muda dengan rambut
sepunggung. Usianya pun mungkin belum sampai 25 tahun. Rambutnya yang hitam,
dan dekik pipinya yang terlihat ketika tersenyum menjadi magnet tersendiri.
Namun entah mengapa laki-laki itu selalu datang dan makan di angkringannya.
Apakah karena kecantikannya. Atau karena masakannya atau mungkin karena hal
lain.
***
“Silahkan Mas, mau minum apa?” tanya
sang penjual warung dengan ramah
“Teh hangat” dengan nada datar
dan menundukkan kepala
Dalam hati perempuan tersebut,
kenapa laki-laki ini selalu datang ketika setelah magrib dan selalu memesan teh
hangat. Kenapa juga ia selalu makan-makanan yang sama? Beribu tanda tanya
menyelimuti berkeliaran ketika laki-laki itu datang.
“ Dari mana Mas?” tanya sang
penjual untuk mencairkan suasana
“ Dari sana” sambil menunjukkan
arah kedatangannya tadi
Suasana masih dingin. Obrolan pun
tak berlanjut sementara beberapa pembelipun berdatangan. Ada yang memesan
wedang jahe, susu panas, es teh, dan sebagainya. Perempuan penjual angkringan
masih sibuk meracik minuman yang di pesan oleh para pembeli.
“Sudah Mbak” sambil menyodorkan
uang
“Iya mas”
Selalu dan selalu uang tersebut
pas sesuai yang ia pesan. Entah mengapa,padahal perempuan penjual angkringan
tersebut hanya sekali mengatakan berapa habisnya. Namun semenjak itu apa yang
ia pesan selalu sama sehingga uang yang diberikan sama setiap harinya.
***
Esok hari, laki-laki itu datang
namun tidak seperti biasa. Laki-laki itu datang sudah agak larut malam.
Beberapa makan sudah mulai habis. Wajahnya masih tertunduk seperti hari-hari
kemarin. Raut mukanya pun tak menunjukkan kegembiraan apapun. Ia ambil tempat
duduk seperti biasa. Dibawah temparan sinar lampu kuning ia mengambil mendoan
dan mencicipinya.
“Pasti teh hangat” tebak
perempuan penjual angkringan
“Iya Mbak”
Langsung seketika perempuan yang
ramah itu meracikkan teh hangat untuk laki-laki tersebut. di sodorkanlah teh
hangat yang telah selesai dibuat.
“Ini Mas”
“Terimakasih Mbak”
“Kok, gak seperti biasa datangnya
agak malem?” tanya perempuan penjual angkringan
“Iya”
Hanya jawaban dingin yang selalu
keluar dari mulut laki-laki itu. Dan hanya sepatah dua patah kata yang ia
utarakan. Membuat perempuan penjual angkringan tersebut semakin penasaran
dengan laki-laki aneh itu. Ingin ia menguntit dibelakngnya ketika ia pulang.
Ingin ia mengetahui dimana rumahnya, dan kenapa ia selalu diam. Bukan karena ia
memiliki wajah yang lumayan tampan, tapi memang karena ada rasa penasaran yang
menyeruak di benak perempuan penjual angkringan tersebut.
***
Sudah beberapa hari laki-laki itu
tak menunjukkan batang hidungnya. Entah kenapa perempuan tersebut selalu
gelisah ketika laki-laki itu tak datang di angkringannya. Selalu ada rasa
kawatir dan kurang nyaman. Ingin rasanya jika laki-laki itu datang kembali akan
di tanyai mana rumahnya?. sudah berkeluarga belum?. Apa pekerjaannya?. Beberapa
pertanyaan sudah ia siapkan untuk laki-laki itu. Namun sampai satu minggu belum juga datang
diangkrinnya.
***
“ Kenapa Mbak kok gelisah” tanya
seorang laki-laki yang menikmati makanan di angkringannya
“Enggak kok”
“Kenapa melihat arah sana?”
“Tidak apa-apa. Oh ya kemana
laki-laki yang biasa makan disini yang hanya diam itu?” tanyanya balik sambil
menunjukkan tempat duduk yang biasa ditempati
“Oh, Mas Fuad to”
“Aku gak tahu namanya, pokoknya
yang biasa makan disini dan selalu memesan teh hangat”
“Dia itu Mas Fuad Mbak, entah
sekarang kemana. Semenjak ia di pecat dari pekerjaannya di PT INKO”
“Kenapa di pecat?” tanyanya lagi
“Dia kan tuna netra, dulu
kebijakan perusahaan memang membolehkan seorang tuna netra bekerja yang
terpenting skillnya. Tapi semenjak pergantian menager, kebijkan tersebut
dirubah. Akibatnya Mas Fuad di pecat”
“Oh begitu. Ternyata dia itu buta
ya. Kok gak kelihatan kalau dia itu buta” sambil menyodorkan susu panas pada
laki-laki yang diajaknya bicara
“Iya, dia itu buta tapi hati dan
perasaannya tidak pernah buta. Ia sangat hafal dan pintar. Walaupun dia buta,
ia dapat bekerja di depan computer. Mengetik berbagai tugas kerjanya. Ia juga
sangat hafal dengan jalan pulang ke kostnya”
Ternyata laki-laki yang selalu
datang tengah malam itu adalah laki-laki luar biasa. Laki-laki buta mata, namun
tak pernah buta hatinya. Laki-laki yang selalu menundukkan pandangannya.
Laki-laki yang makannya sederhana, sesederhana pakaiannya.
Dunia itu memang kejam, dan
manusia-manusia itu juga kejam. Tidak memberikan kesempatan pada orang lain
yang ingin hidup. Saling tindas menindas, dan yang tak berdaya di sisihkannya.
Atas nama kekurangan laki-laki itu harus meninggalkan pekerjaannya. Harus
meninggalkan segala rutinitasnya selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar