CERITA ANAK PETANI
Aku hanyalah anak petani gurem.
Lahir jauh dari peradaban kota. Disebuah kampung kecil yang masyarakat sebut
kampung Kalituri. Disinilah aku dilahirkan. Ditengah-tengah hiruk-pikuk para
petani yang berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Daun tembakau, bulir-bulir
padi, biji-biji jagung menjadi roda penggerak perekonomian masyarakat. Namun
beberapa waktu lalu, terdengar kabar pembatasan produksi tembakau. Sungguh
berita tersebut sangat menyayat masyarakat. Soalnya dari sekian tanaman yang
dibudidayakan tembakaulah yang mampu memberikan nafas lebih dari tanaman yang
lain. Dengan tembakaulah masyarakat dapat bertahan hidup lebih lama. Walaupun
lahan pertanian dikampun kami tak begitu besar, namun menjadi harapan
satu-satunya masyarakat.
Aku tak ingin membahas isu yang
terjadi tempo hari lalu. Isu mengenai tembakau itu. Aku ingin menengok
kebelakang. Mengenang masa kecilku dulu. Mengenang masa-masa bermain dengan
lumpur dan tanaman itu. Sepuluh tahun yang lalu atau lebih aku masih kecil. Aku
masih duduk di bangku SD. Aku belum mengenal mengenai bertani. Walaupun bapakku
seorang petani. Walaupun kakek dan seluruh keluarga besarku seorang petani.
Namun lembat laun seiring berjalannya waktu aku mulai terjun. Aku mulai turun.
Aku mulai merasakan hidup sebagai petani.
Awalnya aku hanya ikut membantu
orang tua. Ketika itu usiaku baru menginjak SD. Bukan membantu sih, tapi lebih
tepatnya mengganggu pekerjaan orang tua. Namun waktu berganti, hari berganti,
minggu, bulan dan tahun berganti. Aku benar-benar terjun sebagai petani. Ketika
duduk dibangku SMP aku mulai membantu lebih intensif pekerjaan orang tua.
Sebagai petani gurum. Terlepas dari kegiatan sekolah disore ataupun hari libur
aku biasa habiskan untuk membantu orang tua. Ketika musim tanam tiba. Aku
membantu untuk Daud ( memanen benih padi
yang telah ditanam untuk dibesarkan). Aku juga ikut menanam benih padi.
Disaat padi mulai tumbuh aku ikut menyiangi atau orang kampung menyebutnya maton. Disaat musim panen tiba aku ikut
derep (panen padi).
Terus beranjak usia, aku
beranikan diri untuk mencoba menerjunkan sepenuhnya untuk bertani. Aku sisikan
waktu lebih dimasa SMA untuk mengurus ladang. Ketika itu aku kelas dua SMA.
Dimusim tembakau aku niatkan untuk mencoba belajar menanam tembakau dari kecil
sampai panen. Walaupun lahan yang aku coba tanami tidak begitu besar. Sekitar
25 RU. Dengan bantuan orang tua dan masukan dari berbagai orang didekatku
sangat membantuku dalam bertani tembakau. Aku merasakan menjadi petani
sebenarnya. Aku merasakan begitu nikmatnya bertani. Ketika pagi menyingsing
bersamaan surya yang mengepakkan cahayanya aku telah berada di ladang kecil
itu. Ditemani sebuah cangkul, arit, dan beberapa alat pertanian lain aku
habiskan masa remaja ku itu. Aku menemukan kenikmatan itu. Aku menemukan
kenikamatan ketika makan. Disaat keringat mulai bercucur deras di tubuhku.
Disaat sinar mentari menghantam wajahku. Disitulah kenikmatan nasi bercampus
sayur dan sebuah lauk tempe. Disaat siang yang menyala, disaat sore yang hangat
aku merasakan semilirnya angin surga menerpaku. Aku merasakan kedamaain seorang
petani. Aku merasakannya itu. Mungkin inilah yang membuat para petani betah
menjalani rutinitas hidupnya. Terlepas dari penghasilan dan kebutuhan hidupnya.
Terdapat kepuasan yang tak ternilai.
Andai saja mereka
saudara-saudaraku para petani yang selalu setiap menghidupi rakyat negeri
kehidupannya lebih sejahtera. Maka itu adalah puncak kepuasan dari sebuah
perjalanan hidup petani. Itulah puncak segalanya hidup mereka. Walaupun kini
mereka masih berkutat dengan berbagai kendala mulai mahalnya harga pupuk,
rendahnya harga hasil panen, minimnya peran pemerintah tak membuat mereka patah
arang. Semoga saja mereka saudaraku semua tetap bertahan menjadi petani dan
semoga kesejahteraan akan segera datang sebagai puncak kenikmatan hidup sebagai
petani.
Yogyakarta, 7 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar