WpMag

Kamis, 17 Mei 2012

CINTA TAK TERDUGA


CINTA TAK TERDUGA


Ia berjalan sempoyongan dengan langkah gontai. Seakan kakinya tak kuat menyangga tubuh yang rapuh itu. tubuhnya terpontang-panting diterpa angin sore. Ia terus berjalan menyusuri trotoar yang lengang itu. walaupun disampingnya ratusan kendaraan hilir mudik tak karuan, ia tak pernah menolehkan mukanya pada kendaraan tersebut. Walaupaun suara deru mesin mobil tak pernah mati, ia tak mendengarnya. Seakan ia benci dengan kendaraan, dengan mobil. Mobil adalah kendaraan terkutuk baginya. Terkutut, semenjak tadi.
Didalam mobil itulah, hubungan ia dengan pacarnya putus. Dimobi itulah segala bentuk cinta itu lenyap. Dimobol itulah segala kenangan harus di kandaskan dari memori otaknya. Hilang ditelan segala kecurigaan. Hilang karena memang takdir yang kejam. Membawakan hubungan mereka dipenghujung jalan.
“ yang aku, sebaiknya kita segera menikah”
“apa kau bilang, menikah!!”
“iya memangnya kenapa, perutku sudah semakin besar”
“gugurin aja”
Terjadi perdebatan sengit antara Ratna dengan kekasihnya Ridwan. Cowok yang telah menemaninya selama dua tahun itu kini meninggalkannya dengan tega. Meninggalkan segala kenangan yang telah dilalui. Meninggalakan asa yang pernah mereka bangun bersama. Ridwan, cowok dengan tubuh proposional dan kuli putih itu telah memikat hati Ratna dua tahun lalu. Cowok yang dulu memuja-muja Ratna itu kini telah lenyap ditelan sang waktu.
Ia masih berjalan dibawah pohon trembesi yang sesekali menggugurkan daunnya. Seperti hati ratna yang saat ini gugur danjatuh dengan sangat telak. Dalam hatinya ia menympai cowok bangsat itu. cowok yang dulu menjilat-jilat dan tunduk pada dirinya. Cowok yang dulu memenujanya seperti anjing dengan majikannya. Kini ia menyampakkan Ratna.
“Yang…hubungan kita saat ini semakin mesra saja, seperti bulan dn bintang diatas sana”
“ah..kamu bisa aja yang”
“ditemani dinginnya malam, mari kita nikmati malam ini”
Dalam sebuah kamar kost yang cendelanya sedikit terbuka mereka berdua bercumbu mesra. Bulan, bintang, dan embun malam tak mereka hiraukan. Waupun semua menyaksikan dengan iri. Mereka berdua seakan acuh dengan segalanya. Seakan dunia hanya miliknya. Di kamar Kost Ridwan mereka melampiaskan nafsu kebinatangan.
“ah, kamu yang jangan tarik-tarij terus”
“nggak,…ngakk”
“ah…yang”
Mereka melupakan segalanya. Hanya nafsu kebinatangan yang ada. Tubuh mereka adalah manusia, namun hati mereka, otak mereka adalah binatang. Hanya dengan jalinan cinta saj mereka rela mengorbankan segalanya. Hukum moral, hukum adat, hukum agama telah mereka tbrak dengan penuh kenikmatan. Memang kadang kehidupan itu membingungkan. Sesuatu yang nikmat akan merupakan larangan dan pantangan. Namun sesuatu yang nggak enak adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankan.
Suara ayam, burung dan deru kendaraan bermotor telah membangunkannya dari percumbuan tanpa ikatan pernikahan itu. lentikan burung diatas ranting daun telah mengusik tidurnya. Suara kenalpot kendaraan memekakkan tenginga mereka. Hingga kini mereka terbangun.
“apa yang terjadi tadi malam”
“sudah, tenang saja, aku tanggung jawab kok”
Ratna mengis sejadi-jadinya dikamar kost Ridwan. Ia menangis dengan penuh penyesalan mengenai perbuatannya tadi malam. Dibawah minuman setan ia terlena dan lupa akan dunia. Mereka melayang dalam mimpi kenikmatan. Mereka hilang dan terbang dengan kedamaian sesaat.
Hari berganti hari. Lembaran hidup terus bergulir. Waktu seperti kertas yang kosong, terus diisi dengan berbagai tulisan. Dengan berbagai kegiatan. Hingga mengatarkan Ratna pada sebuah pergolakan hati. Semakin lama perutnya membesar dan terlihat. Ketika mengenaan pakaian terasa sesak tubuhnya karena sang jabang bayi didalam perutnya sudah mulai beranjak besar. Ia bingung, lantaran ia masih semester 5, kurang 3 semester lagi. Walaupaun kampus tak melarang seorang mahasiswa yang bunting, ia bingung jika ditanya oleh teman-temannya. Ia bingung jika nantinya pulang ke rumah ditanya oleh orang tua dan keluarganya. Ia bingung harus bagaimana. Ditengah kebingungannya. Ia memutuskan untuk meminta pertanggung jawaban pada cowoknya.
Langkah kakiknya mengantarkan Ratna untuk melewati hari yang berat ini. hari dimana ia telah diputuskan oleh pacarnya. Tidak hanya itu, pacarnya tidak mau bertanggung jawab atas kejadian tempo hari lalu. Memang dimana-mana laki-laki adalah bajingan, gumam Ratna dalam hati sembari meludah. Laki-laki adalah pengecut, bedebah, dan semuanya adalah pengkianat. Laki-laki adalah hewan. Terus gumamnya dalam hati seakan menyumpai seluruh laki-laki di dunia. Laki-laki baginya adalah seorang yang bertubuh manusia namun berhati binatang. Ia kadang buas dan bernafsu, namun tak pernah bertanggung jawab. Laki-laki mungkin juga lebih dari itu, binatang saja kadang bertanggung jawab, namun laki-laki tak pernah bertanggung jawab. Semua laki-laki sama, manis didepan dan pahit dibelakang. Tidak hanya Ridwan cowoknya, bapaknya tak berbeda jauh. Ia telah meninggalkan ibu ketika Ratna masih kecil. Bapaknya telah berpindah kelain hati dan mencampakkan ibunya dengan penuh penderitaan.
“nak, jangan mudah percaya dengan laki-laki, kebanyakan dari mereka adalah pembual”
Itu adalah pesan ibunya ketika Ratna akan pindah ke Jogja untuk menuntut ilmu. Pesan ibunya adalah sebuah sabda yang harus diamalkan. Namun manusia lagi-lagi lupa. Ia lupa lantaran bius nafsu dunia. Air mata Ratna tak henti-hentinya membasahi wajah yang sembab itu. Ia seakan menandakan kepedihan hati seorang wanita. Kepedihan yang mendalam akibat bualan laki-laki. Mulai detik ini aku tak kan mudah percaya pada bajingan itu, pada laki-laki, pada semua orang yang ditakdirkan menjadi laki-laki, aku tak percaya.
“sore Rat, masih inget aku” terdengar suara dari gagang telpon yang dipegang Ratna
“siapa ya,” jawab Ratna dengan wajah bingung
“aku, temanmu waktu SMA dulu”
“ntar, aku coba ingat-ingat” terjadi keheningan sesaat di antara perbincangan dua insane manusia itu
“masak gak inget sih, ini aku Lisma teman satu kelas dulu”
“oh, kamu to Lis tak kirain siapa”
“Ntar sore ada acara gak?”
Perbincangan dua sahabat itu dilanjutkan di sebuah Gazebo yang merupakan tempat dimana mereka berdua menghabiskan sore ketika masih duduk dibangku SMA. Mereka menghabiskan senja itu disebuah Gazebo dekat danau yang di sekililingi pepohonan kelapa. Pohon kelapa yang melambai-lambai diterpa oleh angin sore itu seakan ingin mendengarkan perbincangan mereka berdua.
“Rat gimana rencana kedepan, masih saja ngarepin itu cowok bajingan”
“ah gak tahu aku, soal cowok bajingan itu telah aku buang dari memori otakku”
“sukurlah, oh ya aku punya kenalan cowok ia simple dan tidak neko-neko”
“untuk saat ini semua cowok dimataku sama, Lis, semuanya Bajingan”
“tapi ini lain Rat, ia bisa nerima semua orang”
Bujuk-rayu Lisma berhasil melumerkan hati ratna yang telah membatu itu. mereka berdua siap untuk ketemua dengan cowok yang akan dikenalkan pada Ratna. Walaupun Ratna masih trauma dengan cowok, namun ia juga membutuhkan cowok untuk masa depannya. Tak bisa ia terus-terusan sendiri ditengah usia yang menginjak angka 27 tahun. Walaupun ia telah menahan malu dari berbagai pihak lantaran seorang laki-laki yang gak bertanggung jawab itu, ia ingin mencoba untuk memulainya lagi. Kalau tidak, takutnya siapa jabang bayi yang akan menghidupinya kelak. Ibunya tak akan sanggup terus-terusan membiayai hidupnya.
Ia terkaget ketika Lisma memperkenalkan seorang laki-laki dengan tubuh tegap itu. seorang laki-laki dengan kemeja warna merah kotak-kotak itu membuat ratna mati kaku. Bibirnya tak dapat digerakkan. Ia bingung dan gugup
“ini Rat cowok aku maksud” seru Lisma pada Ratna
“oh, ternyata kamu ya”
“iya, ternyata kamu ya”
Seru mereka berdua seakan pernah bertemu dan kenal.
“Memangnya kalian sudah kenal?”
“sudah” jawab laki-laki dengan wajah meyakinkan
“iya, Lis ia yang membuatku bisa seperti ini, iya membangkitkanku dari terjatuh ini”
“kamu gak pernah cerita sih, katanya trauma sama cowok?” seru Lisma
“iya sih…maaf..maaf”
“memang dunia ini sempit ya”seru cowok tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar