Ia berjalan sempoyongan dengan
langkah gontai. Seakan kakinya tak kuat menyangga tubuh yang rapuh itu.
tubuhnya terpontang-panting diterpa angin sore. Ia terus berjalan menyusuri
trotoar yang lengang itu. walaupun disampingnya ratusan kendaraan hilir mudik
tak karuan, ia tak pernah menolehkan mukanya pada kendaraan tersebut. Walaupaun
suara deru mesin mobil tak pernah mati, ia tak mendengarnya. Seakan ia benci
dengan kendaraan, dengan mobil. Mobil adalah kendaraan terkutuk baginya.
Terkutut, semenjak tadi.
Didalam mobil itulah, hubungan ia
dengan pacarnya putus. Dimobi itulah segala bentuk cinta itu lenyap. Dimobol
itulah segala kenangan harus di kandaskan dari memori otaknya. Hilang ditelan
segala kecurigaan. Hilang karena memang takdir yang kejam. Membawakan hubungan
mereka dipenghujung jalan.
“ yang aku, sebaiknya kita segera
menikah”
“apa kau bilang, menikah!!”
“iya memangnya kenapa, perutku
sudah semakin besar”
“gugurin aja”
Terjadi perdebatan sengit antara
Ratna dengan kekasihnya Ridwan. Cowok yang telah menemaninya selama dua tahun
itu kini meninggalkannya dengan tega. Meninggalkan segala kenangan yang telah
dilalui. Meninggalakan asa yang pernah mereka bangun bersama. Ridwan, cowok
dengan tubuh proposional dan kuli putih itu telah memikat hati Ratna dua tahun
lalu. Cowok yang dulu memuja-muja Ratna itu kini telah lenyap ditelan sang
waktu.
Ia masih berjalan dibawah pohon
trembesi yang sesekali menggugurkan daunnya. Seperti hati ratna yang saat ini
gugur danjatuh dengan sangat telak. Dalam hatinya ia menympai cowok bangsat
itu. cowok yang dulu menjilat-jilat dan tunduk pada dirinya. Cowok yang dulu
memenujanya seperti anjing dengan majikannya. Kini ia menyampakkan Ratna.
“Yang…hubungan kita saat ini
semakin mesra saja, seperti bulan dn bintang diatas sana”
“ah..kamu bisa aja yang”
“ditemani dinginnya malam, mari
kita nikmati malam ini”
Dalam sebuah kamar kost yang
cendelanya sedikit terbuka mereka berdua bercumbu mesra. Bulan, bintang, dan
embun malam tak mereka hiraukan. Waupun semua menyaksikan dengan iri. Mereka
berdua seakan acuh dengan segalanya. Seakan dunia hanya miliknya. Di kamar Kost
Ridwan mereka melampiaskan nafsu kebinatangan.
“ah, kamu yang jangan tarik-tarij
terus”
“nggak,…ngakk”
“ah…yang”
Mereka melupakan segalanya. Hanya
nafsu kebinatangan yang ada. Tubuh mereka adalah manusia, namun hati mereka,
otak mereka adalah binatang. Hanya dengan jalinan cinta saj mereka rela
mengorbankan segalanya. Hukum moral, hukum adat, hukum agama telah mereka tbrak
dengan penuh kenikmatan. Memang kadang kehidupan itu membingungkan. Sesuatu
yang nikmat akan merupakan larangan dan pantangan. Namun sesuatu yang nggak
enak adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankan.
Suara ayam, burung dan deru
kendaraan bermotor telah membangunkannya dari percumbuan tanpa ikatan
pernikahan itu. lentikan burung diatas ranting daun telah mengusik tidurnya.
Suara kenalpot kendaraan memekakkan tenginga mereka. Hingga kini mereka
terbangun.
“apa yang terjadi tadi malam”
“sudah, tenang saja, aku tanggung
jawab kok”
Ratna mengis sejadi-jadinya
dikamar kost Ridwan. Ia menangis dengan penuh penyesalan mengenai perbuatannya
tadi malam. Dibawah minuman setan ia terlena dan lupa akan dunia. Mereka
melayang dalam mimpi kenikmatan. Mereka hilang dan terbang dengan kedamaian
sesaat.
Hari berganti hari. Lembaran
hidup terus bergulir. Waktu seperti kertas yang kosong, terus diisi dengan
berbagai tulisan. Dengan berbagai kegiatan. Hingga mengatarkan Ratna pada
sebuah pergolakan hati. Semakin lama perutnya membesar dan terlihat. Ketika
mengenaan pakaian terasa sesak tubuhnya karena sang jabang bayi didalam
perutnya sudah mulai beranjak besar. Ia bingung, lantaran ia masih semester 5,
kurang 3 semester lagi. Walaupaun kampus tak melarang seorang mahasiswa yang
bunting, ia bingung jika ditanya oleh teman-temannya. Ia bingung jika nantinya
pulang ke rumah ditanya oleh orang tua dan keluarganya. Ia bingung harus
bagaimana. Ditengah kebingungannya. Ia memutuskan untuk meminta pertanggung
jawaban pada cowoknya.
Langkah kakiknya mengantarkan
Ratna untuk melewati hari yang berat ini. hari dimana ia telah diputuskan oleh
pacarnya. Tidak hanya itu, pacarnya tidak mau bertanggung jawab atas kejadian
tempo hari lalu. Memang dimana-mana laki-laki adalah bajingan, gumam Ratna
dalam hati sembari meludah. Laki-laki adalah pengecut, bedebah, dan semuanya
adalah pengkianat. Laki-laki adalah hewan. Terus gumamnya dalam hati seakan
menyumpai seluruh laki-laki di dunia. Laki-laki baginya adalah seorang yang
bertubuh manusia namun berhati binatang. Ia kadang buas dan bernafsu, namun tak
pernah bertanggung jawab. Laki-laki mungkin juga lebih dari itu, binatang saja
kadang bertanggung jawab, namun laki-laki tak pernah bertanggung jawab. Semua
laki-laki sama, manis didepan dan pahit dibelakang. Tidak hanya Ridwan
cowoknya, bapaknya tak berbeda jauh. Ia telah meninggalkan ibu ketika Ratna
masih kecil. Bapaknya telah berpindah kelain hati dan mencampakkan ibunya
dengan penuh penderitaan.
“nak, jangan mudah percaya dengan
laki-laki, kebanyakan dari mereka adalah pembual”
Itu adalah pesan ibunya ketika
Ratna akan pindah ke Jogja untuk menuntut ilmu. Pesan ibunya adalah sebuah
sabda yang harus diamalkan. Namun manusia lagi-lagi lupa. Ia lupa lantaran bius
nafsu dunia. Air mata Ratna tak henti-hentinya membasahi wajah yang sembab itu.
Ia seakan menandakan kepedihan hati seorang wanita. Kepedihan yang mendalam
akibat bualan laki-laki. Mulai detik ini aku tak kan mudah percaya pada
bajingan itu, pada laki-laki, pada semua orang yang ditakdirkan menjadi
laki-laki, aku tak percaya.
“sore Rat, masih inget aku”
terdengar suara dari gagang telpon yang dipegang Ratna
“siapa ya,” jawab Ratna dengan
wajah bingung
“aku, temanmu waktu SMA dulu”
“ntar, aku coba ingat-ingat”
terjadi keheningan sesaat di antara perbincangan dua insane manusia itu
“masak gak inget sih, ini aku
Lisma teman satu kelas dulu”
“oh, kamu to Lis tak kirain
siapa”
“Ntar sore ada acara gak?”
Perbincangan dua sahabat itu
dilanjutkan di sebuah Gazebo yang merupakan tempat dimana mereka berdua
menghabiskan sore ketika masih duduk dibangku SMA. Mereka menghabiskan senja
itu disebuah Gazebo dekat danau yang di sekililingi pepohonan kelapa. Pohon
kelapa yang melambai-lambai diterpa oleh angin sore itu seakan ingin
mendengarkan perbincangan mereka berdua.
“Rat gimana rencana kedepan,
masih saja ngarepin itu cowok bajingan”
“ah gak tahu aku, soal cowok
bajingan itu telah aku buang dari memori otakku”
“sukurlah, oh ya aku punya
kenalan cowok ia simple dan tidak neko-neko”
“untuk saat ini semua cowok
dimataku sama, Lis, semuanya Bajingan”
“tapi ini lain Rat, ia bisa
nerima semua orang”
Bujuk-rayu Lisma berhasil
melumerkan hati ratna yang telah membatu itu. mereka berdua siap untuk ketemua
dengan cowok yang akan dikenalkan pada Ratna. Walaupun Ratna masih trauma
dengan cowok, namun ia juga membutuhkan cowok untuk masa depannya. Tak bisa ia
terus-terusan sendiri ditengah usia yang menginjak angka 27 tahun. Walaupun ia
telah menahan malu dari berbagai pihak lantaran seorang laki-laki yang gak bertanggung
jawab itu, ia ingin mencoba untuk memulainya lagi. Kalau tidak, takutnya siapa
jabang bayi yang akan menghidupinya kelak. Ibunya tak akan sanggup
terus-terusan membiayai hidupnya.
Ia terkaget ketika Lisma
memperkenalkan seorang laki-laki dengan tubuh tegap itu. seorang laki-laki
dengan kemeja warna merah kotak-kotak itu membuat ratna mati kaku. Bibirnya tak
dapat digerakkan. Ia bingung dan gugup
“ini Rat cowok aku maksud” seru
Lisma pada Ratna
“oh, ternyata kamu ya”
“iya, ternyata kamu ya”
Seru mereka berdua seakan pernah
bertemu dan kenal.
“Memangnya kalian sudah kenal?”
“sudah” jawab laki-laki dengan
wajah meyakinkan
“iya, Lis ia yang membuatku bisa
seperti ini, iya membangkitkanku dari terjatuh ini”
“kamu gak pernah cerita sih,
katanya trauma sama cowok?” seru Lisma
“iya sih…maaf..maaf”
“memang dunia ini sempit ya”seru
cowok tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar