JANGAN JADI PECUNDANG
Kenapa hidup itu serba sulit.
Hidup serba penuh ketidak pastian. Dan hidup penuh dengan pertanyaan. Kenapa
Tuhan menkadirkan manusia hidup didunia ini. hidup dengan penuh cobaan. mungkin
itulah yang dirasakan Subri saat ini. semenjak calon istrinya meninggal karena
kecelakaan, Subri tak ubahnya songgok tubuh yang tak bernilai. Ia hanyalah
sampah dari sekian sampah yang ada dimuka bumi. Tak ada yang dikerjakannya
selain menyesali apa yang terjadi. Seakan Tuhan tak adil selama ini. selama
perjalanan hidupnya dipenuhi dengan cobaan yang tak kurung henti.
“apakah engkau akan terus begini,
anakku”
Ia hanya terdiam ketika ibunya
bertanya. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaan
wanita dengan tubuh yang mulai diteln usia itu. Ibunya hanya bisa mengingatkan
dan mengingatkan ia yang terus dirundung rasa yang tak dapat dilukiskan.
Malam, yang semakin larut dengan
ditemani bulan yang bersinar cukup terang mejadi saksi hidup yang penuh dengan
penderitaan. Malam yang dingin itu telah mencengkerang tubuh kurus yang ditelan
sang waktu. “ aku takkan bercinta lagi, dengan siapapun. Hanyalah waktu yang
kucinta menemani setiap penderitaan ini”. Gumam Subri didalam hati dengan
disaksikan berjuta bintang yang berkerlap-kerlip dan bulan yang tersenyum indah
mengamininya.
malam mengantarkan Subri dalam
sebuah mimpi yang tak pernah ia alami. Disebuah perkampungan yang sepi ia
berjalan sendiri. Ia bingung mau kemana, karena tak ada arah dan tujuan yang
jelas. Terlihat seorang tua yang sedang membenahi jaring yang tersampir
disebuah tiang. Dengan penuh kesabaran ia benahi jaring itu satu persatu. Ia
rajut kembali jaring yang mulai rusak itu. Subri yang kebingungan menghampiri
orang tua dengan tubuh ceking dan kulit yang mulai keriput.
“Tuan, ijikanlah aku bertanya”
“silahkan anak muda” jawab orang
tua dengan senyum lebar
“aku mau pulang, aku tak tahu
arah tujuan”
Seorang tua itu tersenyum dengan
lebar dan kemudian tertawa. Subripun bingung apa yang dilakukan Tua tersebut.
“Tuan, aku mau pulang ke kampungku,
apa Tuan tahu arah menuju kampungku?”
ia tersenyum kembali, dan berkata
“ kenapa kamu mau pulang, nikmati
saja perjalananmu”
Subri semakin bingung.
“aku mau pulang tuan”
“apa kau ingin menjadi
pecundang. Kamu pulang berarti kamu
menyerah. Kenapa kamu tak mengikuti caraku untuk merajut jaring yang berlobang
ini. kesinilah anak muda, bantulah aku”
Seketika ia terbangun dari
tidurnya. Keringat dingin membasah baju tidurnya. Tangannya gemeteran dan
tubuhnya tak dapat dikontrol bergerak sendiri. Ia bingung apa yang baru saja
dialami. Apa maksud dari semua mimpi yang dialaminya barusan.
Hari berikutnya tak berubah, ia
bermimpi persis dengan apa yang terjadi tadi malam.
“apa engkau ingin jadi pecundang.
Kesinilah anak muda.”
Suara orang tua tersebut selalu
berbisik ditelinganya. Apa yang sebenarnya terjadi. kanapa mimpi itu selalu
berulang-ulang kali. Dan apa yang dimaksud dari semua itu kenapa aku disuruh
untuk membantu merajut jaring. Aku tak bisa, aku sungguh tak bisa.
“aku tak bisa merajut jaring
tuan”
“engkau, pengecut anak muda”
“kenapa engkau bilang padaku aku
pengecut”
“engkau tak ubahnya seonggok
daging yang tak punya harga. Apa engkau ingin jadi bangkai-bangkai yang
berjalan tanpa arti?”
Selalu ia dirundung rasa cemas
disetiap harinya. Ditengah kecemasan yang kian hari terus menyelimutinya, ia
pergi ke sebuah danau. Sebuah danau yang mempertemukannya dengan calon istrinya
beberapa tahun yang lalu. Disebuah senja yang tak kurung hilang dari
peraduannya. Di senja yang mengantarkannya menghabiskan waktu bersama pacarnya.
Dipinggir danau inilah ia bercumbu mesra. Namun ia bingung kenapa ia datang
kemari. Seakan ada yang menariknya untuk datang. ia tak tahu.
Burung-burung berterbangan,
pulang keperaduannya. Ia pulang dengan membawakan kabar pada Subri. Seakan
burung tersebut mengingatkan Subri. Bahwa hidup harus dijalani. Tidak turus
bermurung durja menyesali takdir. Harus tetap terbang menjalani setiap waktu
yang disajikan oleh Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar