LARUNG
SESAJI
Semua orang berkumpul dibibir pantai. Tua muda, kecil-besar, wanita dan
pria semua berkumpul. Hari ini memang berbeda dengan hari yang lain. Hari ini tak ada aktifitas yang berjalan.
Melaut, bertani, pasar, semua mati. Khusus hari ini semua tak dibolehkan untuk
bekerja. Jika mereka bekerja, pastilah tahu akibatnya. Hukum adat tak ada yang
berani melanggar. Apalagi kalau yang bilang sesepuh adat, petuahnya bagaikan
sabda yang harus dijalankan.
Semua orang menunggu di bibir pantai. Mereka semua menunggu acara adat
larung sesaji. Larung sesaji merupakan acara adat yang rutin diadakan dikampung
kami tiap tahunnya. Ini adalah bentuk curahan syukur kepada Sang Pencipta
berkat rizki yang diberikan selama satu tahun penuh. Larung sesaji ini diawali
dengan penyembelihan kerbau kemarin yang diadakan di Balai Desa. Kerbau yang
disembelih diambil kepalanya untuk di larung ke laut. Sedangkan daging dan
tulang serta kulit dibagikan kepada masyarakat kampung. Ini persis seperti hari
raya Qurban. Semua kebagian daging. Mungkin inilah hari raya ketiga di kampung
kami. Larung sesaji diadakan setiap tanggal satu Sura atau Muharam dan merupakan
peringatan tahun baru Jawa atau Islam. Entah kapan larung sesaji ini ada. Namun
kata sesepuh adat, larung sesaji telah lama ada sebelum zaman kemerdekaan.
Mbah Sarip demikianlah beliau biasa dipanggil. Orang tua yang
kesehariannya juga sebagai nelayan. Seorang sesepuh adat yang sangat disegani
di kampung kami, dimana semua petuahnya pasti dilaksanakan oleh semua masyarakat.
Kata beliau, Larung sesaji telah ada sebelum beliau lahir. Dulu larung sesaji
berasal dari masa kerajaan Majapahit. Kejayaan Majapahit telah sampai ditanah
ini. Ketika itu Larung sesaji merupakan cara tolak balak dan wujud syukur yang di tujukan kepada Sang
Pencipta. Seiring berjalannya waktu, larung sesaji terus ada dan tetap menjadi nilai budaya adat
kampung kami.
Dari sudut lain pantai, terlihat segerombolan orang
menyangga tumpeng yang berisikan kepala kerbau. Di belakangnya diiringi oleh
anak kecil, bapak-bapak, ibu-ibu dan semua masyarakat. Sementara aku bersama
dengan Gemol, Sadli dan Lasmi ikut berjalan dibelakang para pemain reog yang
menari diiringi musik gamelan. Tumpeng berisi kepala kerbau tersebut akan dilarungkan
kelaut namun sebelumnya dibacakan doa di pinggir pantai oleh mbah Sarip.
Tumpeng pun telah tiba tepat di bibir pantai. Semua warga duduk dan terdiam
mendengarkan petuah yang diucapkan oleh mbah Sarip termasuk musik gamelan yang
tadi ikut mengarak tumpeng kepala kerbau. Sementara ombak laut menunggu kepala
kerbau itu untuk dibawa ke laut selatan. Dengan sabar mereka menunggu.
Sedangkan Mbah Sarip masih saja komat-kamit didepan tumpeng berisi kepala
kerbau tersebut. Bahasa yang diucapkannya pun tak jelas. Aku bingung, begitu
juga yang lain.
“Bay, ngomong apa itu mbah Sarip?”Tanya Gemol..sambil menggaruk-garuk
rambutnya yang menjadi kebiasaan sedari kecil.
“Nggak tahu kayaknya bahasa Sansekerta”
jawabku dengan sedikit berspekulasi
“Ngawur kamu itu bahasa Jawa
kuno” jawab Sadli dengan argumen yang ia kemukakan.
“Iya, itu Jawa kuno alias bahasa Kawi” tambah Lasmi seakan mengamini
perkataan Sadli tadi
“Bahasa Kawi?apa itu?” tanyaku dengan penuh kebingungan
“Bahasa yang biasa dipakai untuk pementasan pewayangan” tambah Lasmi
Dengan komat-kamit seakan mau menjadi dalang dalam pementasan wayang,
mbah Sarip terlihat khusuk. Sesekali beliau mendongakkan kepala sambil
menengadahkan tangannya. Dan tak lupa, beliau juga meniup kemenyan yang berada
didepannya. Persis orang penggambuh yang mau mengobati tukang “Jaranan”. Dengan pakaian hitam dan kaos
dalam putih, beliau memang pantas menjadi seorang sesepuh adat. Tak lama
berselang beliau menengadahkan tangan dan meminta semua hadirin untuk mengikuti
beliau. Berbagai bacaan beliau ucapkan. Entah itu bahasa Kawi, bahasa
Sansekerta ataupun bahasa Jawa aku tak tahu artinya. Yang aku lakukan hanya
mengamini setiap jeda dalam perkataannya.
“Amin….amiiiin….aaaaaaminnnnnnnnn” semua terlihat kidmat mengucapkan kata
amin mengiringi doa yang beliau panjatkan.
Selesai berdoa, tumpeng pun diangkat untuk dilarungkan ke laut. Beberapa
kapal nelayan siap menjadi pengawal dalam melarungkan tumpeng berkepala kerbau
itu. Sementara kami masih saja dirundung penasaran mengenai bahasa yang
digunakan mbah Sarip dalam berdoa tersebut. Perdebatan kecil muncul mengiringi
kepergian kepala kerbau kepantai Selatan. Walaupun tumpeng kepala kerbau telah
berada diujung laut dan perahu nelayan
mulai berangsut kembali ke pantai. Kami masih saja memperdebatkan masalah
bahasa yang digunakan Mbah Sarip tadi. Akhirnya Lasmi yang selalu berada dipihak
netral memberikan solusi.
“Ya sudah, ayo kita bersama-sama tanya Mbah Sarip langsung”
“Ide bagus itu, dari pada debat terus tak berujung” tambahku
Kamipun segera mencari Mbah Sarip. Lolongan mata kami tak menemukan sosok
ceking berbaju hitam tadi. Wajah keriputnya tak terlihat di keramaian
orang-orang. Sesekali ku dongakkan kepala untuk mencari beliau. Dan ternyata
beliau berleha-leha di bawah pohon kelapa yang tak jauh dari tempat kami
berdiri sekarang. Dengan ditemani sebatang rokok yang berada disela-sela jari
tangannya beliau sangat menikmati udara sejuk sore ini. Segera kami berjalan
menuju tempat beliau. Rasa penasaran dicampur rasa ingin tahu menyeruak
seketika untuk segera mendapatkan jawabannya.
“Mbah, mau tanya boleh?”
“Tanya apa nak?” sembari melentikkan batang rokok agar abunya lepas
“Ini mbah, kami mau tanya isi petuah dan bahasa yang mbah gunakan tadi
apa?” tanya Lasmi dengan penuh penasaran
“Iya mbah artinya apa soalnya
bahasanya agak nyleneh”tambah Sadli
“Itu bahasa Kawi”
“Bahasa Kawi mbah” jelasku dengan
muka terkaget
“Iya nak, bahasa Kawi merupakan bahasa yang biasa masyarakat dulu gunakan
untuk komunikasi. Jauh sebelum bahasa Jawa dipakai, masyarakat lebih suaka
bahasa Kawi. Katanya sih bahasanya lebih halus. Jika dipakai untuk memberi
petuah dan doa lebih sopan. Apalagi doa, isinya kan ungkapan kepada Tuhan
mengenai diri kita masak bahasanya nggak halus “Payo isin”. Kita saja kalau ketemu orang yang lebih tua bahasanya
kan pasti yang sopan. Masak menghadap Sang Pencipta bahasanya nggak sopan?”
jawab Mbah Sarip dengan penuh kebijaksanaan
“O, begitu to mbah, kalau isinya itu apa mbah?” tanya Sadli sembari
menganggukkan kepalanya
“Isi dari bacaan tadi adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena
limpahan Rizki yang diberikan sepanjang tahun. Begitu besar rizki yang
diberikan ini harus disyukuri. Karena dengan syukur maka Tuhan akan memberi
rizki yang banyak untuk tahun depan. Selain itu terdapat ungkapan doa
keselamatan semoga segala aktifitas yang dialakukan oleh masyarakat di ridhoi
oleh Sang Pencipta. Tak hanya itu saja beberapa petuah mbah ucapkan sebagai
pedoman masyarakat dalam menjalani segala aktifitas. Diharapakan dengan berbagai
doa dan petuah tersebut akan memudahkan masyarakat dalam menjalani aktifitas
ditahun yang baru ini.”
“Terimakasih mbah” seru Lasmi
“Iya nak, sama-sama, siapa disini yang mau menggantikan mbah besok?”
sembari melepaskan asap rokok keudara dengan entengnya
“Gemol mbah” seru Sadli,
“tidak mbah, Sadli” jawab Gemol
“Ubay mbah”tambah Sadli lagi
“Tidak mbah, tidak bisa aku mbah”
“Ya sudah, hanya bercanda” sembari menerbitkan senyuman kepada kami
Kamipun berpamitan pada Mbah
Sarip. Dengan ucapan beribu terimakasih, karena perdebatan kami telah
mendapatkan jawaban. Sekarang tak ada lagi perdebatan, karena semua telah
terkuak. Mengenai isi dari semua yang diucapkan oleh Mbah Sarip dan bahasa yang
digunakan tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar