“Nak, ayo bangun”
“Iya Bu” sambil mengucek mata
yang masih ngantuk
“BBM naik lagi” lanjut ibunya.
Sementara matanya belum seratus persen terbuka. Ketika ia pelan-pelan membuka
mata ibunya kembali berucap
“BBM naik lagi”
“Apa?”
Iya Nak, inilah kebijakan yang
diambil pemerintah saat ini. Menaikan harga BBM ditengah harga minyak dunia
yang terus menurun. Namun tak apalah Nak, kita diijinkan untuk singgah dan
hidup di negeri ini saja sudah bersukur. Negeri yang “gemah ripah loh jinawi”.
Apa Nak yang mau kau tanam?. Tongkat kayu nantinya akan menjadi tanaman. Apa
nak yang ingin kau makan?. Semua sudah tersedia. Tinggal kitanya mau bergerak
dan mencarinya atau tidak.
Nak…., sudah berapa kali BBM
terus naik. Mulai masa orde baru yang hanya 700 perak sampai masa reformasi dan
kini telah berada di angka 8.500 rupiah. Namun Nak, semua itu tak apa. Ini
semua tak masalah bagi kita. Lebih baik ada BBM dengan harga yang mahal dari
pada pasokannya tak menentu. Jika kita tengok Nak…, di seberang sana. Di pulau
penghasil BBM dan tambang batu bara malah mereka sangat kesulitan
mendapatkannya. Walaupun sumberdaya alamnya melimpah namun mereka tak
menikmatinya. Mulai batu bara, tambang
emas, maupun minyak bumi di sana ada Nak. Namun mereka sedikit sekali merasakan
keberadaan sumber daya alam mereka sendiri. Semua disalurkan kesini Nak… ke
pulau yang katanya pusat pemerintahan. Apakah ini yang dinamakan pemerataan?.
Apakah ini yang dinamakan menjalankan amanat undang-undang. Masihkan engkau
ingat Nak. Undang-undang yang mengatakan “bumi, air dan udara dikuasai oleh
Negara dan digunkan untuk kesejahteraan rakyat”. Jika masih ingat. Apakah
Negara telah melakukannya Nak.
Nak…, walaupun BBM telah naik dan
diketok palu oleh Pak Presiden janganlah berkecil hati. Bolehlah sekali-kali
engkau menolaknya dengan turun kejalan dan mengutarakan kekecewaan. Namun kamu
harus ingat nak… disana ada hak rakyat yang engkau perjuangkan. Ada kebijakan
yang menurutmu tidak sesuai dengan kondisi dilapangan. Bahkan ada regulasi yang
tidak berjalan dalam koridor undang-undang. Turunlah ke jalan untuk berjuang.
Namun kamu harus mematuhi aturan dan tata tertib. Jangan engkau arogan dan
anarkis. Seolah engkau adalah satu-satunya pembela rakyat sehingga
mengesampingkan orang di sekitar. Membuat kerusuhan dan mengacaukan
jalan-jalan. Membakar ban bekas dan menutup jalan. Melempari aparat dengan batu
bahkan berkelahi sampai berdarah. Apakah itu yang dinamakan perjuangan Nak?. Apakah
itu yang dinamakan membela rakyat Nak. Bukankan itu malah mengganggu ketertiban
para pengguna jalan. Ingat Nak, setiap kali kamu keluar rumah disitu ada hak
orang lain yang harus kamu hargai. Ada jalan, ada trotoar dan ada lampu merah.
Itu bukan milik kita pribadi namun milik semua orang. Milik rakyat yang engkau
perjuangkan nasibnya itu. Ingat Nak…..
Nak…., jika engkau tak turun
kejalan tak apa-apa. Tak ada yang melarang. Walaupun engkau di cap sebagai
orang apatis. Biarlah orang berkata apa, yang terpenting kita terus bergerak
maju membuat sebuah perubahan. Bolehlah engkau memberikan pemahaman pada
masyarakat mengenai arti hidup yang sekarang ini banyak ditinggalkan. Mengenai
kebudayaan, kearifan, bahkan mengenai sebuah pemahan dalam keikhlasan. Bolehlah
engkau keluar dan duduk di warung membicarakan mengenai pembangunan Mal-Mal yang
terus berjalan. Gedung pencakar langit yang kian menjulang atau mengenai pasar
modern yang berada di sepanjang jalan. Memberikan pemahaman mengenai kebiasaan
konsumtif yang tak terfilter sampai sistem ekonomi Negara ini. Entah sistem
liberal, kapital, neoliberal atau mungkin sistem ekonomi berdasarkan
undang-undang.
Nak…., matahari mulai tersenyum.
Embun perlahan mulai turun. Bangunlah Nak. Bangun. Ayo kita hadapi kenaikan BBM
ini dengan semangat baru. Mari tersenyum dan memahami setiap kebijakan pemerintah
dengan pemahaman yang luas. Jangan kau sempitkan pemahamanmu Nak. Barangkali
mereka para pengambil keputusan lebih mengetahui dan memahami masa depan bangsa
ini. Setahun dua tahun atau bahkan lima tahun lagi yang akan terjadi di negeri
ini. Mereka telah merencanakannya Nak. Biarlah mereka bekerja. Kalaupun mereka
melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Biarlah Tuhan yang mengingatkan
Nak. Mengingatkan dengan caraNya. Bukan kita yang menghakimi sepihak dan
memfonisnya. Ada pengadilan dan ada hukum Tuhan. Sudahlah itu bukan ranah kita.
Mari berkerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar