MASIHKAH MINDER JADI PETANI?
Kehidupan petani |
Ada fikiraan yang menggelitikku
untuk terus memainkan keyboard. Ada sesuatu yang harus dikeluarkan. Menuliskan
sebuah fenomena yang ada di masyarakat. Suatu kejadian, pola pikir masyarakat,
atau hal-hal sepele yang kadang menggelitikku untuk dituliskan.
Dewasa ini, para pemuda memilih
untuk bekerja disektor-sektor yang menjanjikan. Bekerja jadi pedawai negeri
yang gajinya tiap bulan dapat diandalkan. Atau jika tidak, bisa juga jadi
pegawai swasta yang gajinya rendah sampai tinggi. Para pemuda dengan susah
payah menggapai mimpi-mimpinya. Entah lewat jelan depan atau jalan belakang.
Semua tergantung diri masing-masing.
Fenomena yang agaknya
menggelitikku ketika pemuda desa mulai memiliki pemikiran yang berbeda dengan
para pendahulunya. Ketika, pekerjaan jadi petani mulai dipandang sebelah mata.
Tak ada pilihan memang, saat ini petani adalah salah satu pekerjaan yang
dinilai kurang menjamin kehidupan dimasa yang akan datang. Apalagi petani kecil
dengan luas lahan kurang dari setengah hektar. Belum lagi para buruh tani yang
tak memiliki lahan.
Pemuda-pemuda desa mulai
meninggalkan tanah kelahirannya. Merantau ke kota untuk mengadu nasib.
Meninggalkan tanah leluhurnya, kearifan nenek moyangnya dan kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakatnya. Demi sebuah harapan baru mereka kadang berfikir
instan untuk mencapai sebuah tujuan. Kehidupan yang layak dan diharapkan akan
menjamin hari tuanya.
Hay, pemuda desa. Ayo berfikir
ulang mengenai keputusan yang kita ambil. Memang benar untuk saat ini pekerjaan
jadi petani belum menjamin hari tua. Namun bukankah rezki manusia telah
ditentukan. Tinggal kita mau bergerak menjemputnya atau tidak. Bukankah tugas
kita untuk menjemputnya dengan cara apapun selagi sesuai dengan kaidah yang
berlaku. Dan kita tak punya hak untuk mengurusi hasilnya.
Malu dicibir teman karena jadi
petani?. Coba deh dipikir lagi. Bukankah dengan cara jadi petani kita ikut
rembuk menghidupi bangsa Indonesia. Mencukupi kebutuhan masyarakat mulai dari
beras, jagung, ketela atau bahan pokok lainnya. Bukankah itu juga sebuah
kebaikan jika diniati dengan benar.
Gengsi?. Apakah kita masih gengsi
jadi petani?. Yah, coba deh difikir-fikir lagi. Ada ungkapan “jika kaya jadilah
pengusaha, jika hidup terjamin jadilah pegaawai, namun jika hidup bahagia
jadilah petani”. Lantas kenapa masih bimbang?. Wajar jika masih bimbang. Namun
ada poin yang harus digaris bawahi “bahagia bukan mengenai seberapa banyak uang
yang kita miliki, bukan seberapa tinggi jabatan yang kita punyai tapi seberapa
luas pemahaman dan penerimaan hidup yang
ada dalam diri”.
Maka bahagia itu bisa hadir
dimana saja. Entah menjadi pegawai negeri, pengusaha dan bahkan petani
sekalipun. Kesimpulannya kita ingin hidup bahagia atau ingin kaya?. Kekayaan
memang bisa mengantarkan hidup bahagia. Namun kekayaan belum tentu menjamin
hidup kita bahagia. Coba deh difikir-fikir lagi.
Karena bahagia adalah hak semua
orang yang mau mengusahakannya. Hati yang lapang, fikiran yang jernih dan
tindakan yang terpuji. Maka jadi petani pun kita memiliki hak yang sama untuk
bisa bahagia.
bagus Pak tulisannya, sayang sekarang jarang nulis ya, kendala sekarang juga pengetahuan dan tehnik bertani yang baik yang bisa menghasilkan juga, mulai dari perencaaan, eksekusi, sampai dengan hasil yang didapat, saya sendiri nyasar ke blog ini karena mencari hal tsb.
BalasHapus