PENERAPAN TEKNOLOGI BIOFLOC DALAM
KEGIATAN BUDIDAYA INTENSIF RAMAH LINGKUNGAN
A.
Latar
Belakang
Menurut The State of
Fisheries and Aquaculture 2008, FAO melaporkan bahwasanya kegiatan Aquaculture
dunia meningkat dari tahun 2002-2006. Kontribusi kegiatan budidaya sekitar 46 %
dari produksi total perikanan dunia. Fenomena lain menunjukkan kegiatan
penangkapan mulai menurun dari waktu kewaktu. Produksi ikan tangkap mulai
menurun dikarenakan beberapa faktor diantarannya sumber daya ikan yang mulai
sedikit dan adanya over fishing
diberbagai perairan dunia. Di Indonesia sendiri kegiatan budidaya mulai
mengalai peningkatan yang cukup signifikan.
Kegiatan budidaya khususnya di
Indonesia terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus
meningkat. Maka dari itu, penerapan sistem budidaya intensif dan ramah
lingkungan sangat diperlukan guna meningkatkan produksi. Permasalahan utama dalam akuakultur
sistem intensif telah menarik perhatian tidak hanya para pelaku kegiatan
akuakultur tetapi juga para stakeholder lainnya seperti para pemerhati
lingkungan (Allsopp et al., 2008). Lebih jauh lagi, penerapan best
aquaculture practices dalam sertifikasi produk akuakultur yang diekspor,
mensyaratkan praktek akuakultur yang ramah lingkungan. Sehingga perkembangan teknologi
akuakultur saat ini difokuskan pada pemecahan masalah tersebut di atas. Menurut Anonim (2012) Biofloc adalah pemanfaatan bakteri pembentuk flok (flocs forming
bacteria) untuk pengolahan limbah. Investigasi pertama terhadap penerapan
Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di
Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton pada tahap treatment biologi
yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit
) serta ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi pada
industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Flock Technology ) mulai digunakan
menggantikan sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan
pengenceran air yang banyak untuk pengenceran plankton.
B. Tujuan
1.
Mengetahui penerapan teknologi biofloc untuk
budidaya intensif yang ramah lingkungan
2.
Mengetahui penerapan budiya dengan sistem bifloc
untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki kualitas air.
C. Manfaat
Manfaat
dari seminar ini adalah agar dapat mengetahui bagaimana penerapan system
budidaya ikan dengan teknik biofloc yang ramah lingkungan
D. Metodologi
Metode yang digunakan
dalam seminar ini dengan menggunakan metode tinjauan pustaka. Dengan cara
mencari jurnal-jurnal, literatur, buku dan sebagainya.
II. PEMBAHASAN
A. Nitrogen
dalam sistem akuakultur
Nitrogen
dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan yang biasanya
mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N) tergantung pada
kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003;
Gross & Boyd 2000; Stickney, 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam
sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya
terbuang ke dalam air. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari
total nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et al., 2003).
Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan ammonia sebagai
hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia (NH3) tidak terionisasi
melalui insang (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Pada saat yang
sama, bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan
dan feses menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000).
B. Teknologi
Bioflok
Bioflok atau Flok merupakan
istilah bahasa slang dari istilah bahasa baku “Activated Sludge”
(“Lumpur Aktif”) yang diadopsi dari proses pengolahan biologis air limbah
(biological wastewater treatment ). Investigasi pertama terhadap penerapan
Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di
Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton pada tahap treatment biologi
yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit
) serta ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi pada
industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Floc Technology ) mulai digunakan
menggantikan sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan
pengenceran air yang banyak untuk pengenceran plankton. (Anonim, 2012)
Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflocs dalam
air, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk
bioflocs. Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya
untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat ( PHA ), terutama yang spesifik
seperti poli β‐hidroksi
butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan
polimer antara substansi substansi pembentuk bioflocs. Bioflocs terdiri atas partikel serat organik
yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium
karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body
cell), ragi, jamur dan zooplankton.
Bakteri yang
mampu membentuk bioflocs diantaranya:
- Zooglea
ramigera
- Escherichia intermedia
- Paracolobacterium aerogenoids
- Bacillus subtilis
- Bacillus cereus
- Flavobacterium
- Pseudomonas alcaligenes
- Sphaerotillus natans
- Tetrad dan Tricoda
Berikut
gambar bakteri yang dapat membentuk floc
Bacillus subtilis & cereus Tetrad
dan tricoda dalam bioflocs Protozoa
dan Zooplankton
dalam bioflocs dalam bioflocs
Teknologi bioflok
merupakan salah satu alternatif baru dalam mengalasi masalah kualitas air dalam
akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan limbah domestik secara
konvensional (Avnimelech, 2006; de Schryver et al., 2008). Prinsip utama
yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang
didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan
anorganik yang terdapat di dalam air. Secara teoritis, pemanfaatan N oleh
bakteri heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut
(Ebeling et al., 2006):
NH4+ + 1.18C6H12O6 + HC03- + 2.06O2 C5H7O2N + 6.06H2O + 3.07CO2
Melihat persamaan tersebut maka secara teoritis
untuk mengkonversi setiap gram N dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07 g karbon
organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk
alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh
bahwa rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6.
C. Aplikasi
teknologi bioflok dalam akuakultur
1.
Aplikasi
Kemampuan bioflok dalam
mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun
aplikasi telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et al. (2006)
dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh bakteri heterotrof
40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de
Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang ditumbuhkan dalam
bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg NH4/L hingga 98%
dalam sehari.
2.
Pembentukan Biofloc
Pembibitan bioflocs skala kecil dilakukan secara in
door, dalam wadah fermentasi tertentu baik dalam drum atau bak fiber. Ke dalam
air bersih ( tawar atau asin ) ditambahkan pakan udang dengan konsentrasi 1% ,
berikut 1% nutrient bakteri yang berupa campuran buffer pH, osmoregulator
berupa garam isotonik, vitamin B1, B6, B12 , hormon pembelahan sel dan
precursor aktif yang merangsang bakteri untuk mengeluarkan secara intensif
enzim, metabolit sekunder dan bakteriosin selama fermentasi berlangsung
(nutrient Bacillus spp. 1strain®) serta bibit bakteri baik dari isolat lokal
atau bakteri produk komersil berbasis Bacillus spp. yang pasti diketahui
mengandung paling tidak bacillus subtilis, sebagai salah satu bakteri pembentuk
bioflocs. Campuran diaerasi dan diaduk selama 24‐48 jam, diusahakan pH bertahan antara
6,0 ‐7,2 sehingga bacillus
tetap dalam fasa vegetatifnya, bukan dalam bentuk spora dan PHA tidak
terhidolisis oleh asam, sehingga ukuran partikel bioflocs yang dihasilkan
berukuran besar, paling tidak berukuran sekitar 100 μm (Anonim, 2012).
3.
Kondisi yang
mendukung pembentukan Bioflocs
a.
Aerasi dan pengadukan
(pergerakan air oleh aerator)
Oksigen jelas diperlukan untuk
pengoksidasian bahan organik (COD/BOD), kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen terlarut.
Pergerakan air harus sedemikian rupa, sehingga daerah mati arus (death zone)
tidak terlalu luas, hingga daerah yang memungkinkan bioflocs jatuh dan
mengendap relatif kecil.
b.
Karbon dioksida (CO2)
Karbon
dioksida menjadi salah satu kunci terpenting bagi pembentukan dan pemeliharaan
bioflocs. Bakteri gram negatif non pathogen seperti bakteri pengoksidasi
sulfide menjadi sulfat ( Thiobacillus, photosynthetic bacteria seperti
Rhodobacter), bakteri pengoksidasi besi dan Mangan ( Thiothrix ) dan bakteri
pengoksidasi ammonium dan ammonia ( Nitrosomonas dan Nitrobacter ) memerlukan
karbon dioksida untuk pembentukan selnya, mereka tidak mampu mengambil sumber
karbon dari bahan organic semisal karbohidrat, protein atau lemak. Termasuk
juga Zooglea, Flavobacterium, tetrad/tricoda dan bakteri pembentuk bioflocs
lainnya. Bahkan Bacillus sendiri, sebagai pemanfaat karbon dari bahan organik
dan menghasilkan gas karbon dioksida sebagai hasil oksidasinya, memerlukan
karbondioksida dalam pernafasan anaerobnya ketika melangsungkan reaksi
denitrifikasi.
D. Penerapan system bioflock dalam budidaya intensif
Penerapan
budidaya intensif dengan teknologi bioflok menunjukkan perbedaan yang cukup
mencolok. Penerapan budidaya nila dengan teknologi bioflok dari grafik diatas
menggambarkan bahwasanya pemberian kanji sebagai bahan pembentuk flok sangat
mempengaruhi kualitas air. Terlihat dari grafik 1 bahwasanya formulasi pakan
dengan adar protein 23% dengan penambahan tepung kanji 5% menghasilkan
kandungan nitrogen yang paling rendah jika dibanding kan dengan perlakuan lain.
Perlakuan pemberian pakan dengan protein 30% tanpa adanya tambahan tepung kanji
menunjukkan hasil yang paling rendah dimana kandungan nitrogen dalam perairan
paling tinggi yaitu sebesar 30 mg/ml. (Avnimelech
et al, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar