WpMag

Senin, 05 November 2012

PENERAPAN TEKNOLOGI BIOFLOC DALAM KEGIATAN BUDIDAYA INTENSIF RAMAH LINGKUNGAN



PENERAPAN TEKNOLOGI BIOFLOC DALAM KEGIATAN BUDIDAYA INTENSIF RAMAH LINGKUNGAN

A.    Latar Belakang
Menurut  The State of Fisheries and Aquaculture 2008, FAO melaporkan bahwasanya kegiatan Aquaculture dunia meningkat dari tahun 2002-2006. Kontribusi kegiatan budidaya sekitar 46 % dari produksi total perikanan dunia. Fenomena lain menunjukkan kegiatan penangkapan mulai menurun dari waktu kewaktu. Produksi ikan tangkap mulai menurun dikarenakan beberapa faktor diantarannya sumber daya ikan yang mulai sedikit dan adanya over fishing diberbagai perairan dunia. Di Indonesia sendiri kegiatan budidaya mulai mengalai peningkatan yang cukup signifikan.
Kegiatan budidaya khususnya di Indonesia terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat. Maka dari itu, penerapan sistem budidaya intensif dan ramah lingkungan sangat diperlukan guna meningkatkan produksi.  Permasalahan utama dalam akuakultur sistem intensif telah menarik perhatian tidak hanya para pelaku kegiatan akuakultur tetapi juga para stakeholder lainnya seperti para pemerhati lingkungan (Allsopp et al., 2008). Lebih jauh lagi, penerapan best aquaculture practices dalam sertifikasi produk akuakultur yang diekspor, mensyaratkan praktek akuakultur yang ramah lingkungan. Sehingga perkembangan teknologi akuakultur saat ini difokuskan pada pemecahan masalah tersebut di atas. Menurut Anonim (2012) Biofloc adalah pemanfaatan bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan limbah. Investigasi pertama terhadap penerapan Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton pada tahap treatment biologi yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit ) serta ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi pada industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Flock Technology ) mulai digunakan menggantikan sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan pengenceran air yang banyak untuk pengenceran plankton.

B.     Tujuan
1.      Mengetahui penerapan teknologi biofloc untuk budidaya intensif yang ramah lingkungan
2.      Mengetahui penerapan budiya dengan sistem bifloc untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki kualitas air.
C.     Manfaat
Manfaat dari seminar ini adalah agar dapat mengetahui bagaimana penerapan system budidaya ikan dengan teknik biofloc yang ramah lingkungan
D.    Metodologi
Metode yang digunakan dalam seminar ini dengan menggunakan metode tinjauan pustaka. Dengan cara mencari jurnal-jurnal, literatur, buku dan sebagainya.

II. PEMBAHASAN

A.      Nitrogen dalam sistem akuakultur
Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003; Gross & Boyd 2000; Stickney, 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya terbuang ke dalam air. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et al., 2003). Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan ammonia sebagai hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia (NH3) tidak terionisasi melalui insang (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Pada saat yang sama, bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan dan feses menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000).
B.       Teknologi Bioflok
Bioflok atau Flok merupakan istilah bahasa slang dari istilah bahasa baku “Activated Sludge” (“Lumpur Aktif”) yang diadopsi dari proses pengolahan biologis air limbah (biological wastewater treatment ). Investigasi pertama terhadap penerapan Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton pada tahap treatment biologi yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit ) serta ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi pada industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Floc Technology ) mulai digunakan menggantikan sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan pengenceran air yang banyak untuk pengenceran plankton. (Anonim, 2012)
Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflocs dalam air, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk bioflocs. Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat ( PHA ), terutama yang spesifik seperti poli βhidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflocs.  Bioflocs terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton.

Bakteri yang mampu membentuk bioflocs diantaranya:
-       Zooglea ramigera
-        Escherichia intermedia
-        Paracolobacterium aerogenoids
-        Bacillus subtilis
-        Bacillus cereus
-        Flavobacterium
-        Pseudomonas alcaligenes
-        Sphaerotillus natans
-        Tetrad dan Tricoda
Berikut gambar bakteri yang dapat membentuk floc
                
Bacillus subtilis & cereus        Tetrad dan tricoda dalam bioflocs      Protozoa dan Zooplankton
dalam bioflocs                                                                                      dalam bioflocs                       

Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengalasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan limbah domestik secara konvensional (Avnimelech, 2006; de Schryver et al., 2008). Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik yang terdapat di dalam air. Secara teoritis, pemanfaatan N oleh bakteri heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut (Ebeling et al., 2006):
NH4+ + 1.18C6H12O6 + HC03- +  2.06O2 C5H7O2N + 6.06H2O + 3.07CO2

Melihat persamaan tersebut maka secara teoritis untuk mengkonversi setiap gram N dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07 g karbon organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh bahwa rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6.

C.       Aplikasi teknologi bioflok dalam akuakultur

1.        Aplikasi
Kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh bakteri heterotrof 40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg NH4/L hingga 98% dalam sehari.

2.        Pembentukan Biofloc
Pembibitan bioflocs skala kecil dilakukan secara in door, dalam wadah fermentasi tertentu baik dalam drum atau bak fiber. Ke dalam air bersih ( tawar atau asin ) ditambahkan pakan udang dengan konsentrasi 1% , berikut 1% nutrient bakteri yang berupa campuran buffer pH, osmoregulator berupa garam isotonik, vitamin B1, B6, B12 , hormon pembelahan sel dan precursor aktif yang merangsang bakteri untuk mengeluarkan secara intensif enzim, metabolit sekunder dan bakteriosin selama fermentasi berlangsung (nutrient Bacillus spp. 1strain®) serta bibit bakteri baik dari isolat lokal atau bakteri produk komersil berbasis Bacillus spp. yang pasti diketahui mengandung paling tidak bacillus subtilis, sebagai salah satu bakteri pembentuk bioflocs. Campuran diaerasi dan diaduk selama 2448 jam, diusahakan pH bertahan antara 6,0 7,2 sehingga bacillus tetap dalam fasa vegetatifnya, bukan dalam bentuk spora dan PHA tidak terhidolisis oleh asam, sehingga ukuran partikel bioflocs yang dihasilkan berukuran besar, paling tidak berukuran sekitar 100 μm (Anonim, 2012).

3.        Kondisi yang mendukung pembentukan Bioflocs

a.        Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator)
Oksigen jelas diperlukan untuk pengoksidasian bahan organik (COD/BOD), kondisi optimum sekitar 45 ppm oksigen terlarut. Pergerakan air harus sedemikian rupa, sehingga daerah mati arus (death zone) tidak terlalu luas, hingga daerah yang memungkinkan bioflocs jatuh dan mengendap relatif kecil.

b.         Karbon dioksida (CO2)
Karbon dioksida menjadi salah satu kunci terpenting bagi pembentukan dan pemeliharaan bioflocs. Bakteri gram negatif non pathogen seperti bakteri pengoksidasi sulfide menjadi sulfat ( Thiobacillus, photosynthetic bacteria seperti Rhodobacter), bakteri pengoksidasi besi dan Mangan ( Thiothrix ) dan bakteri pengoksidasi ammonium dan ammonia ( Nitrosomonas dan Nitrobacter ) memerlukan karbon dioksida untuk pembentukan selnya, mereka tidak mampu mengambil sumber karbon dari bahan organic semisal karbohidrat, protein atau lemak. Termasuk juga Zooglea, Flavobacterium, tetrad/tricoda dan bakteri pembentuk bioflocs lainnya. Bahkan Bacillus sendiri, sebagai pemanfaat karbon dari bahan organik dan menghasilkan gas karbon dioksida sebagai hasil oksidasinya, memerlukan karbondioksida dalam pernafasan anaerobnya ketika melangsungkan reaksi denitrifikasi.

D.    Penerapan system bioflock dalam budidaya intensif

Penerapan budidaya intensif dengan teknologi bioflok menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok. Penerapan budidaya nila dengan teknologi bioflok dari grafik diatas menggambarkan bahwasanya pemberian kanji sebagai bahan pembentuk flok sangat mempengaruhi kualitas air. Terlihat dari grafik 1 bahwasanya formulasi pakan dengan adar protein 23% dengan penambahan tepung kanji 5% menghasilkan kandungan nitrogen yang paling rendah jika dibanding kan dengan perlakuan lain. Perlakuan pemberian pakan dengan protein 30% tanpa adanya tambahan tepung kanji menunjukkan hasil yang paling rendah dimana kandungan nitrogen dalam perairan paling tinggi yaitu sebesar 30 mg/ml. (Avnimelech et al, 2009)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar