HUJAN DEPAN ISTANA
Awan bergulung-gulung bergerak
diatas langit putih. Sementara ribuan bahkan jutaan manusia tak memperdulikan.
Awan masih saja bergerak dan tiada henti. Terus melaju bak pesawat yang lepas
landas. Sementara aku, aku melihat ada sesuatu yang akan datang. Aku merasakan,
aku mendengar, aku melihat dan aku merasA lagi. Bahwa hujan akan datang. Entah
mereka tak memperdulikanku mengenai hal ini, aku tak peduli.
Bak kilatan cahaya yang menembus
sela –sela dedaunan, rintik hujan turun membasahi bumi. Menumbuhkan jiwa-jiwa
yang mati. Membangunkan jiwa –jiwa yang tertidur. Mengingatkan mereka yang
lupa. Menyegarkan dalam setiap dahaga. Rintik hujan terus turun, disana ada
sekor burung yang bingung mencari tempat berteduh. Sementara pohon-pohon dipinggiran
kota tak mampu lagi untuk melindunginya. Ia pergi ke sebuah desa terpencil,
lagi-lagi disana tak dapat untuk disinggahi. Iapun memutuskan untuk pergi
kehutan. Dan ia teringat bahwa manusia telah menjamah merusakanya. Ia bingung
mau kemana. Tak ada lagi tempat untuk bernaungnya.
Hujan masih saja membasahi,
semakin-lama semakin berat sayap burung untuk terbang. Untuk mengepakkan
sayapnya saja harus berjuang mati-matian. Tak ada pilihan lain kecuali untuk
berhenti dan mencari tempat apa adanya. Iapun melihat sebuah gedung besar
bercat putih. Tanpa ia tahu siapa empunya, ia langsung turun untuk sekedar
singgah. Ditengah kedingingan yang mendera ia tak kuasa lagi. Tergeleparlah ia di
teras bangunan itu. tak ada yang memperdulikan.
Ingatannya melayang tempo hari
lalu ketika banyak orang memperebutkan daerahnya. Para petinggi, pengusaha
saling kerjasama untuk melampiaskan ambisinya. Ia teringat tempo hari lalu
pernah melewati daerah sini. Karena ia melihat ada gambar burung garuda di
bangunan tersebut. Ia merasa sang empunya rumah pastilah sahabatnya. Sebenarnya
ia ingin mengetuk pintu rumah tersebut, namun ia tak kuat lagi. “hujan depan istana”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar