WpMag

Selasa, 06 Maret 2012

HUJAN DEPAN ISTANA

HUJAN DEPAN ISTANA

Awan bergulung-gulung bergerak diatas langit putih. Sementara ribuan bahkan jutaan manusia tak memperdulikan. Awan masih saja bergerak dan tiada henti. Terus melaju bak pesawat yang lepas landas. Sementara aku, aku melihat ada sesuatu yang akan datang. Aku merasakan, aku mendengar, aku melihat dan aku merasA lagi. Bahwa hujan akan datang. Entah mereka tak memperdulikanku mengenai hal ini, aku tak peduli.
Bak kilatan cahaya yang menembus sela –sela dedaunan, rintik hujan turun membasahi bumi. Menumbuhkan jiwa-jiwa yang mati. Membangunkan jiwa –jiwa yang tertidur. Mengingatkan mereka yang lupa. Menyegarkan dalam setiap dahaga. Rintik hujan terus turun, disana ada sekor burung yang bingung mencari tempat berteduh. Sementara pohon-pohon dipinggiran kota tak mampu lagi untuk melindunginya. Ia pergi ke sebuah desa terpencil, lagi-lagi disana tak dapat untuk disinggahi. Iapun memutuskan untuk pergi kehutan. Dan ia teringat bahwa manusia telah menjamah merusakanya. Ia bingung mau kemana. Tak ada lagi tempat untuk bernaungnya.
Hujan masih saja membasahi, semakin-lama semakin berat sayap burung untuk terbang. Untuk mengepakkan sayapnya saja harus berjuang mati-matian. Tak ada pilihan lain kecuali untuk berhenti dan mencari tempat apa adanya. Iapun melihat sebuah gedung besar bercat putih. Tanpa ia tahu siapa empunya, ia langsung turun untuk sekedar singgah. Ditengah kedingingan yang mendera ia tak kuasa lagi. Tergeleparlah ia di teras bangunan itu. tak ada yang memperdulikan.
Ingatannya melayang tempo hari lalu ketika banyak orang memperebutkan daerahnya. Para petinggi, pengusaha saling kerjasama untuk melampiaskan ambisinya. Ia teringat tempo hari lalu pernah melewati daerah sini. Karena ia melihat ada gambar burung garuda di bangunan tersebut. Ia merasa sang empunya rumah pastilah sahabatnya. Sebenarnya ia ingin mengetuk pintu rumah tersebut, namun ia tak kuat lagi.  “hujan depan istana”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar