MEMPERJUANGKAN HAK
PEKERJA PEREMPUAN
Dewasa ini perempuan tidak hanya dipandang sebelah mata oleh
kaum laki-laki. Perempuan memiliki hak-hak yang sama dalam barbagai bidang.
Salah satunya adalah dalam dunia kerja. Perempuan tidak hanya menjadi aktor sampingan
yang hanya diam dirumah dan mengurus keluarga, namun lebih dari itu perempuan
menjadi aktor utama dalam peregerakan ekonomi.
Peran penting perempuan di sektor ekonomi ditunjukkan dengan semakin
meningkatnya angkatan kerja perempuan, yaitu mencapai 46,23% (Departemen Tenaga
kerja, tahun 2004). Perempuan umumnya bergerak di sektor primer (46,01%) dan
tertier (39,62%), namun status pekerjaan terbanyak sebagai buruh sektor
informal (54,82%), termasuk menjadi pedagang kecil-kecilan, pekerja rumah tangga,
bahkan cukup banyak sebagai pekerja keluarga tanpa upah.
Terdapat berbagai masalah yang muncul ditengah meningkatnya
pekerja perempuan. Beberapa masalah yang muncul seperti minimnya jam libur,
cuti haid, cuti melahirkan, dll. Walaupun sudah ada UU yang mengatur mengenai
pekerja perempuan nampaknya belum melindungi secara keseluruhan bagi kaum
perempuan dalam bekerja. Peraturan mengenai pekerja perempuan tertuang dalam UU
No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan khususnya pasal 76, 81, 82, 83 84,
pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan
Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan. Dalam UU tersebut salah
satunya dijelaskan bahwasanya: pekerja
wanita yang dalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua
pada waktu haid dengan upah penuh. Selain itu cuti hamil bersalin selama 1,5
bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah
penuh. Namun kenyataannya dilapangan perusahaan tidak memberikana upah bagi
pekerja perempuan lantaran dianggap tidak mendapat premi hadir.
Selain menjadi buruh di berbagai perusahaan, pekerja
perempuan juga banyak yang bergerak di sektor pembantu rumah tangga. Kasus yang
biasa terjadi pada pembentu rumah tangga adalah jam kerja yang terlalu tinggi
dan tidak adanya masa libur. Sebagian besar pembantu rumah tangga (PRT) bekerja
sehari bisa mencapai 12-14 jam dan dalam seminggu kadang tidak ada hari
liburnya.
Berbagai permasalah yang menimpa pekerja perempuan harus
disikapi serius dan segera dicarikan jalan keluarnya. Pemerintah sebagai
pemangku jabatan yang syah dinegeri ini tidak hanya membiarkan rakyatnya
berjuang sendiri. Seharusnya pemerintah mengkaji ulang tentang UU pekerja
perempuan. Selain itu pemerintah seharusnya melakukan pengawasan yang ketat
kepada para pelaku usaha dalam memperlakukan pekerja perempuan. Seperti
perusahaan yang membuat pereaturan dalam kegiatan kerjanya harus mengacu
sepenuhnya pada Undang-undang yang berlaku. Sehingga hak pekerja perempuan
dapat dipenuhi dan dimanfaatkan secara maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar