ATLET
LARI
Jika mendengar suara itu, pasti semua orang akan
berlari ketakutan seakan ia diburu setan. Kami takut tak kepalang karena itu
akan menjadi mala petaka besar. Suara itu terdengar beberapa kali, dan semua
yang mendengar itu pasti tahu, bahwa itu adalah suara lonceng tanda masuk
sekolah. Lonceng keramat yang menjadi musuh bagi setiap siswa yang datang
telat. Lonceng yang mengantarkan kami kedalam sebuah perbatasan waktu. Memang
sekolah kami masih sangat tradisional untuk masalah yang sepele seperti ini.
Namun bagi para siswa tak mengapa asalkan biaya untuk sekolah tak tinggi
sehingga dapat dijangkau untuk semua masayarakat pesisir. Hanya ada satu
sekolah yang ada di kecamatan Sadeng dan itupun memprihatinkan. Cukup jauh
jaraknya jika dari kampung kami.
Suara lonceng terdengar bertalu-talu dari tempatku
berjalan. Langsung aku terperanjat dan berlari menuju gerbang. Kira-kira
jarakku lari dari gerbang sekolah sekitar dua ratus meter. Nafasku
engos-engosan, Jantung berdetak lebih kencang bagaikan gerakan piston motor yang dipacu kencang oleh
pengendaranya. Setiba di depan gerbang Pak Darmo selaku guru yang paling keras
dan disiplin sudah siap berdiri didepan gerbang. Sembari tangan kananya
memegang sebuah koran yang telah digulungnya membentuk sebuah balok kecil. Jika
dilihat mungkin lebih mirip lagi dengan lontong kukus. Yang membedakan, kalau lontong enak dimakan,
kalau yang di pegang pak Darmo, jauh dari yang terbayang, akan sangat sakit
jika mengenai badan. Jantungku semakin terpacu kencang seakan tak ada waktu
untuk diam. Dalam hati, “ah aku terlambat lagi, Ah hukuman apa yang akan aku
terima”. Kumis Pak Darmo yang panjangnya menutupi hidung cukup menggetarkan
jantungku hingga aku mati kaku. Kumis yang menandakan kedikdayaannya sebagai
seorang guru yang dianggap killer di
sekolah kami. Kumis inilah perlambang kekuatan pak Darmo. Jika beliau mencukur
kumisnya, terlihat wajah asli nan lugu bagaikan seorang perjaka kemarin sore.
Tak ada yang mengira hanya dibalik kumisnya itulah ia menyimpan kekuatan killer-nya.
“Kamu, lagi….kamu lagi,” dengan wajah geram sembari
berkacak pinggang
“Ma…Maaf Pak,” jawabku dengan penuh rasa takut
“Setiap hari maaf, setiap hari telat. Memangnya ini
sekolah bapakmu.?” Dengan nada tinggi sembari memainkan koran yang digulungnya
tadi
Tubuhku kaku, mulutku sulit untuk digerakkan, tanganku
terasa dingin dan gemetaran. Wajah Pak Darmo terlihat sangat seram, sangar
seperti Van Daime bintang film Holiwood itu. Tubuhnya yang kekar cukup tepat
jika dijadikan guru kedisiplinan sekolah kami.
Sebenarnya Pak Darmo dulu ialah bekas anggota TNI.
Ketika beliau berusia 35 tahun, beliau ditugaskan dalam operasi militer di Poso.
Ketika itu Poso sedang dihadapkan pada konflik SARA. Terjadi permusuhan antara
berbagai golongan. Pada operasi tersebut, nasib naas menimpa Pak Darmo. Pada
saat patroli beliau tertembak tangannya terlihat bekas luka tembak di tangan
kiri dengan dihiasi beberapa bekas jahitan. Setelah kejadian itu, beliau
mengundurkan diri dari keanggotaan TNI dan mulai untuk membantu sekolah kami
ini. Pada dasarnya pendidikan beliau adalah sebagai guru. Beliau menamatkan
sekolah guru di Surabaya. Namun setelah lulus, bukannya menjadi guru beliau
malah mencoba mendaftar sebagai anggota TNI. Usianya pada waktu itu masih
mencukupi dan beliau mendaftar sebagai calon Tantama. Salah satu tingkatan
anggota TNI yang paling bawah dan biasanya ditempatkan di garis depan saat operasi militer. Beliau merupakan guru yang sangat disiplin. Selalu
datang paling pagi dari siapapun di sekolah ini. Jadi pantaslah jika beliau
marah ketika tahu anak muridnya yang tidak disiplin.
Pak Darmo terus mengoceh didepanku dan beberapa teman
lain yang berjejer bak ikan asin yang sedang dijemur diterik matahari.
Terdengar suara sepatu yang bergerak kearah kami. Suaranya semakin dekat dan berhenti tepat
disamping kami berdiri.
“Kamu, kenapa telat?” tanya Pak Darmo
“Taaa..taaadi”. sembari tangannya menggaruk-garuk
kepala yang merupakan kebiasaannya sedari dulu. Belum sempat selesai Pak Darmo
menyeletuk memotong perkataannya
“Alasan saja.” dengan nada tinggi
Dengan penuh penasaran mataku kulirikan kesamping
kanan, terlihat sosok Gemol yang telat. Tubuhnya cukup kekar, namun agak
gendut. Raupan mukanya persis petinju dunia yaitu Muhammad Ali. Kulitnya sawo
matang, dan semakin matang saja karena setiap hari dijemur diterik matahari. Ia
tak ubahnya aku, tubuhnya mulai gemeteran, terlihat kaki yang tak kuat
menyangga tubuh besarnya. Kakinya seperti pohon bambu yang digoyang oleh angin
sore hari. Terus bergerak tak karuan. Aku melihat bibirnya melentik-lentik tak
mau diam. Melihat Gemol yang ketakutan itu, hatiku terpingkal-pingkal, namun
tak kulahirkan, karena takut akan amukan Pak Darmo. Sementara Lasmi yang berada
di sampingnya diam dengan muka tertunduk. Ia tetap diam, dan mungkin merasa
bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan. Mataku langsung kubanting kedepan
lagi, takut kalau Pak Darmo mengetahui gerakan kecil ini. Beliau sangat hafal
dan awas terhadap tingkah laku kami. Seperti tupai yang mengintai mangsanya
atau seperti singa lapar yang ingin menerkam siapa saja yang didekatnya.
“Kalian ini” sembari koran yang dipegangnya
diacung-acungkan pada kami semua.
“Setiap hari
telat…mau jadi apa kalian? bagaimana seandanya pendiri bangsa ini seperti Bung
Karno, Bung Hatta dan yang lain mengetahui penerusnya seperti kalian ini. Jika
tau pasti akan marah. Akan kau bawa kemana nasib bangsa ini?” dengan nada
menggebu-gebu
Nasihat dan omelan terus beliau dengungkan di depan
kami. Saking seringnya telat, akupun sampai hafal semua kata yang keluar dari
mulutnya. Entah harus berapa
kali nasihat ini masuk ke telinga kami. Entah berapa menit beliau selalu
berkata hal yang sama pada kami. Setiap hari,
ketika ada murid yang telat beliau selalu memperingatkan dan memberi nasihat
dengan kata-kata yang sama. Namun semua nasihatnya hanya dianggap angin musiman
yang cepat sekali hilang, masuk telinga
kanan dan keluar telinga kiri. Tak ada satu baitpun dari nasehatnya yang “nyantol” di telinga kami.
Selesai mendengarkan nasihat beliau, akhirnya kamipun
diberi hukuman untuk memutari lapangan sepak bola disamping sekolah. Lapangan
yang dipenuhi debu dan sedikit rumput ini cukup membuatku lelah. Apalagi debu
yang berterbangan akibat gerakan kaki kami, semakin menguras tenaga. Yang
paling parah adalah Gemol, bukan saja ia telat namun ia tak membawa sepatu.
Katanya sepatu yang ia punya satu-satunya kehujanan dan belum kering. Sungguh
malang nasibnya. “Sudah jatuh tertimpa tangga” mungkin itu ungkapan yang paling
tepat menggambarkan keadaannya saat ini. Gerak lari Gemol membuatku geli,
seperti ikan yang diletakkan di palka kapal, lenggak-lenggok tak karuan. Kadang
kala kekanan, dan kadang juga kekiri.
“Las, lihat itu temanmu, larinya melenggak-lenggok tak
karuan” seruku pada Lasmi yang berlari disampingku
“Ah kau Bay, bisa aja. Jangan mengumpat terus” jawab
Lasmi sembari berlari kecil karena rasa capek yang mulai menyeruap
Sementara yang lain terus berlari memutari lapangan
yang sedikit oval itu. Hukuman kami
adalah memutari lapangan sebanyak 7 kali. Namun baru 3 kali, nafasku sudah engos-engosan
seperti motor yang dicopot filternya. Jantungpun berdetak semakin kencang. Belum lagi tadi
belum sempat sarapan karena dikejar sang waktu.
Sementara Pak Darmo masih mengawasi dipinggir lapangan
dengan pluit yang menggantung dilehernya. Peluit berwarna merah yang selalu
tersampir dileher seperti kalung. Tak jarang Pak Darmo menegur kami yang
berlari kecil karena nafas engos-engosan. Jika ada yang tidak tahu pasti
mengira bahwa kami sedang pemanasan atau sedang latihan bermain bola.
“Cepat….lari yang benar, mau jadi apa kau…..lari saja nggak
becus” seru Pak Darmo dari pinggir
lapangan
Suara peluit kadang juga terdengar dari pinggir
lapangan sebagai teguran dan peringatan. Ketika suara peluit terdengar secepat
kilat kami langsung meningkatkan akselerasi kecepatan lari kami dari pelan, menjadi
agak kencang. Sudah 5 putaran telah kami
lakukan, sementara Pak Darmo masih saja berdiri di pinggir lapangan.
Pandangannya tak lepas dari kami yang sedang menjalani masa hukaman. Mungkin
dalam benak Pak Darmo, “ini adalah pelajaran dan peringatan agar engkau lebih
menghargai waktu dan bersikap disiplin”. Tapi selama bertahun-tahun metode yang
diterapkan Pak Darmo belum juga membuahkan hasil yang maksimal. Setiap hari,
setiap minggu pasti ada yang terlambat dan memutari lapangan. Namun Pak Darmo
tak menyerah dan putus arang dalam memperlakukan siswanya agar disiplin.
Putaran terakhir kami lalui dengan nafas yang semakin
pendek. Jantung berdetak kencang bagaikan dentang lonceng tadi pagi yang
membuat kami harus menjalani hukuman ini. Debu semakin berterbangan seperti
kabut dipagi hari yang menghalangi pandangan. Pandangan matapun semakin
terbatas, debu yang berterbangan juga terhirup kehidung. Rasa sesak, disertai
batuk mulai datang. jika terus-terusan begini bisa-bisa kami kena penyakit
paru-paru.
Tujuh putaran lapangan bola sudah kami lewati dengan
susah payah. Keringat bercucuran dan menetes melewati sela-sela pipi ini.
Seperti aliran sungai Brantas yang bermuara dipantai Selatan. Ditambah lagi
nafas kembang-kempis untuk mengambil udara yang seakan melawan kami. Belum
sampai disitu saja, kami harus menghadap lagi ke Pak Darmo untuk mendengarkan
berbagai nasihatnya lagi.
“Brukkk,…..brukkkk…brukkk”
“Maaf, pak saya telat”
Terlihat wajah lusuh anak satu ini yang menghadap Pak
Darmo. Namanya Sadli, tubuhnya kerempeng, dengan raut muka anak nelayan yang
kumal. Seperti tak pernah mandi air tawar. Pakainnya lusuh, tak pernah kena
strika setelah dibeli. Seorang pesilat yang lincah dan memiliki garis nasab
guru silat dikampung kami. Tupai lompat, ia biasa kami juluki. Kelihaan dan
kelincahannya menjadikan ia dijuluki tupai lompat. Tak perlu diragukan lagi
mengenai fisiknya, ia mampu memutari lapangan bola sekolah kami sepuluh kali
dan bahkan lima belas kali. Seakan ia tak punya jantung dan paru-paru. Ia
mungkin tidak bernafas dengan paru-paru namun dengan insang. Entah seperti apa
jantung dan paru-paru anak itu. Atau mungkin ia mewarisi kekuatan fisik
pemain bola dari Brazil. Sang legendaris sepak bola sepanjang masa yaitu Pele.
Wajah pak Darmo semakin geram, melihat siswanya yang
sudah jam setengah delapan baru datang kesekolah. Dalam hatinya, “ini anak mau
nya dijadikan apa?”.
“He, kau….Sadli, kenapa kau telat?” tanya Pak Darmo
dengan penuh kecurigaan
“Aaaannuuu pak” jawab Sadli dengan wajah sedikit pasrah
“Anu apa?, sudah gak usah banyak penjelasan langsung
putari lapangan 10 kali.” dengan raup muka yang seram
“Tapi pak, kumohon dengarkan alasan saya?” dengan
sedikit mengiba
“Halah,
alasan apa lagi, paling kau mencari-cari alasan yang nggak masuk akal. Aku tak
peduli, sudah muak aku mendengarkan alasan dari kau, dasarrr…!”dengan nada
keras ssambil melototkan kedua matanya seakan amu keluar dari kelopak mata.
“Tapi pak?”dengan muka menyerah
“Tak perlu tapi-tapian, kalau tak mau kutambah lagi
hukumannya”
“Jangan pak” sembari berjalan meninggalkan kami dan menuju
lapangan bola.
Sadli tak dapat menjelaskan alasan kenapa ia terlambat
karena pak Darmo sudah tak memerlukan alasan yang tak masuk akal. Memang Sadli suka
ngeles kalau masalah keterlambatan.
Namun karena seringnya ia terlambat, sampai hafal Pak Darmo dengannya. Mau tak
mau, ia harus menjalani hukuman seperti yang kami telah jalankan barusan.
Dengan muka sedikit tertunduk lesu ia
segera berlari menuju lapangan dan mengitari lapangan sepak bola. Tak berapa
lama ia pun selesai berlari. Akhirnya kami semua dibolehkan masuk ke kelas
masing-masing. Sembari berjalan membelakangi Pak Darmo, Sadli membuka obrolan.
“Bay, lihat itu alis Pak Darmo naik turun seperti
harga BBM akhir-akhir ini” tawa kecil langsung pecah ketika Sadli membuka
obrolan mengiringi perjalanan kami ke kelas.
“Husf…” seru Lasmi untuk memotong tawa kecil kami
semua. Pak Darmo mengetahui umpatan Sadli tadi
“Apa yang kau katakan, Le?” . Dengan wajah yang
geram ia menimpali Sadli dengan kata “Le”
yang merupakan kata sakral yang jarang di ucapkan oleh masyarakat di kampung
kami. jika kata “Le” diucapkan oleh seseorang seumuran, artinya ia merendahkan orang lain dan akan menyulutkan
emosi yang dipanggilnya.
“Tidak Pak” kami semua langsung berlari kecil
meninggalkan Pak Darmo dan segera menuju ruang kelas. Sementara Pak Darmo masih
saja berdiri di tempat dan melihat kami berlari memunggunginya
Sinar mentari
pagi mengantarkan kami menjadi atlit lari disekolah. Atlit lari yang tak pernah
ikut dalam setiap kejuaraan dan hanya menjadi cadangan sepanjang hayat. Lomba
tujuh belas agustus pun tak pernah dipanggil apalagi perlombaan tingkat
provinsi dan bahkan nasional tidak pernah tersentuh. Sepanjang sekolah ini
masih berdiri tegak. Sepanjang Pak Darmo masih berdiri didepan pitu gerbang
menunggui kami yang terlambat. Sepanjang itu pula kedisiplinan diajarkan Pak
Darmo dalam mendidik kami. Anak-anak bandel yang setiap hari dikejar oleh sang
waktu.
***
BERSAMBUNG.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar