Ketika aku berjalan sendirian,
ditengah belantara kehidupan banyak sekali kisah yang dapat dituliskan. Aku telusuri
jalan ini, jalan terjal penuh arti. Disetiap tikungan, disetiap perempatan, ada
saja kejadian yang berarti. Sungguh hidup ini unik. Dikala hati sepi, ada
pengisi. Dikala hati luang ada yang membawa kedamaian. Dikala kita sedih, ada
yang membelai dengan senyuman dan kehangatakan serta mengatakan “semangat”. Terus
kita disajikan dengan berbagai aneka keindahan dunia. Terus diberi dengan
segala kemudahan oleh Tuhan. Terus kita dapat mencicipinya, menikmatinya, dan
merasakannya. Tuhan pun berseru “ Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kau
dustakan”. Sungguh betapa besar nikmat yang diberikan Tuhan.
Aku masih saja berjalan, dalam
belantara kehidupan. Banyak…dan banyak sekali kisah itu. ketika banyak sekali
orang didekatku mengatakan padaku, kenapa kau pilih jalan itu. Hidup didunia
ini sebentar, nikmati saja. Aku diam. Ketika banyak orang mencaciku dengan
jalan ini. Aku diam, walaupun kadang aku menjawab “inilah jalanku”. Biarlah,
biarlah mereka tahu. Jikalau pun jalan ini salah, aku pasrahkan pada Tuhan. Ini
adalah jalanku. Jalan terjal penuh liku-liku. Disetiap simpangan ada yang
menggoda dengan rayuannya. Disetiap perempatan ada yang memanggil dengan senyum
indahnya. Namun inilah jalanku, jalan yang penuh risiko. Tak usah kau sedu
sedan itu. Biarlah aku menanggungnya. Jika ada orang yang bertanya “siapa yang
menunjukimu jalan itu?”. aku akan menjawab “ibuku”. Iya Ibuku, ibu yang
mengandungkung 9 bulan diperutnya. Bertambah berat tiap waktu, tiap saat. Namun
ibu tak pernah mengeluh tak pernah pun me “ngundat-ngundat”. Ibu adalah pelita
hidupku. Ibu yang selalu berada di depan
ketika jalan itu gelap kemudian meneranginya. Ibu yang selalu berada di
belakang ketika aku tak dapat berjalan dan kemudian merangkulnya.Ibu yang
selalu sabar dengan anak-anaknya. Ibu yang tak pernah marah dan menjewer
anaknya yang nakal ini.
Dan pada akhirnya waktulah yang
akan menjawab semua ini. jalan yang aku pilih ini. Akupun mulai diam, ditengah
pagi yang datang. Dinginnya embun yang turun, nyamuk yang masih berkeliaran tak
mengurungkanku untuk menatap masa depan.
Ku tuliskan ini semua sebagai wujud ekspresi jalan yang aku pilih.
“sak bejo-bejone wongkang lali, iseh luwih bejo wongkang eling
lanwaspodo”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar