BERTAHAN UNTUK TERUS
BERJUANG
Pertama kali menginjakkan kaki di
sini terasa suhu dingin yang menyeruak. Suhunya mungkin dibawah 10 derajat Celsius.
Dinginnya udara membuatku harus sesering mungkin menggerakkan tubuh, menyatukan
kedua tangan dan cara lain untuk mengusir dingin yang terus merengkuh. Bahkan
untuk berbicara saja kadang terasa sulit karena bibir terus bergemetar.
Inilah tanah yang gemah ripah loh
jinawi itu. Semua tanaman dapat dengan mudah tumbuh di sini. Mulai sayuran,
buah-buahan dan berbagai bunga dapat dengan mudah tumbuh subur di daerah gunung
Wilis. Ketenangan, kesejukan, keramahan masyarakat adalah pemandangan yang
setiap hari dapat ditemui. Senyum yang merekah, sapaan hangat adalah cara
tersendiri dalam berkomunikasi masyarakat Wilis. Mereka adalah manusia tangguh,
pantang menyerah dengan kondisi alam. Karena mereka telah mempelajari dan
menghayati setiap pergerakan alam. Mereka telah melakukan adaptasi dengan alam.
Kehidupan kota yang terus
bergerak, bising kendaraan yang tak berhenti adalah wajah modernisasi yang
disuarakan oleh sistem kapitalis. Namun, di Gunung Wilis inilah kehidupan kota
tak ada. Hanya hawa sejuk, ketenangan, dan suara merdu burung terus memainkan
ritme alam. Para burung itulah yang menjadi lagu dalam setiap bait kehidupan
masyarakat.
Petani yang pergi ke sawah,
peternak yang sedang memerah sapi, pelajar yang terus menulis adalah semangat
masyarakat akan sebuah kehidupan. Kehidupan yang tenang dan penuh kedamaian.
Bukan mengenai materi semata, tapi lebih dari itu kebahagiaan adalah salah satu
tujuan hidup mereka.
Dan, aku masih duduk di sini,
disebuah gubuk kecil di dataran tinggi ini. Sembari melihat sang merah putih
yang berkibar di depan gubuk, suara burung yang bernyanyi dan ladang petani. Ku
bulatkan tekat bertahan untuk terus berjuang dalam sebuah kebahagiaan.
Wilis, 26 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar